Kuliah Estetika

Nilai Estetis antara Objektif dan Subjektif 

Oleh: Deni Junaedi    


Video ini adalah pengantar untuk Kuliah Estetika di Prodi Seni Murni, FSR, ISI Yogyakarta. Saat itu Deni Junaedi memberikan materi tentang keindahan objektif, keindahan subjektif, dan keindahan campuran. Diskusi seru antar mahasiswa terjadi di kelas ini, karena Deni menggunakan metode debat dan simulasi pada kelasnya.

*****

Diskusi panjang aksiologis dalam estetika terjadi untuk menentukan letak keindahan, apakah ada di objek atau subjek. Tiga pendapat muncul dalam wacana ini: keindahan objektif, keindahan subjektif, dan keindahan subjektif-objektif. Perselisihan itu telah mewarnai sejarah estetika. Teori objektif, pada umumnya, berkuasa sejak abad ke-5 SM hingga kisaran abad ke-18; setelahnya, teori subjektif mulai merebak dengan dorongan filsafat Empirisme dan Romantikisme.[i] Perubahan pandangan estetika ini dikenal dengan istilah putaran subjektif (subjective turn).[ii] Pada teori estetika kontemporer, keindahan cenderung dilihat sebagai interaksi dinamis antara objek dengan subjek.[iii]

Pendukung keindahan objektif melihat keindahan sebagai sifat yang melekat pada objek, terlepas dari pengamat; spektator hanya menemukan atau menyingkap sifat indah yang sudah ada pada suatu benda dan sama sekali tidak mampu mempengaruhi atau mengubahnya.[iv] Dengan kata lain, menurut keindahan objektif, keindahan terletak pada objek estetis. Dalam lukisan, contohnya, keindahan terletak pada garis, warna, bentuk, tekstur, komposisi, proporsi, atau hal-hal kebentukan lainnya.

Keindahan objektif antara lain dijumpai pada pendapat Plato, Thomas Aquinas, dan Muhammad Iqbal. Plato, dalam Republic, menyatakan bahwa kecantikan sebuah bejana dibuat berdasarkan aturan-aturan yang tepat. Thomas Aquinas, pada Summa Teological, mengemukakan bahwa keindahan dihasilkan dari proporsi, kecemerlangan, kejelasan, dan kesatuan; sedangkan kejelekan adalah pengingkaran proporsi.[v] Menurut Iqbal, keindahan merupakan kualitas benda yang muncul dari ekspresi benda itu sendiri; untuk memperoleh keindahannya, benda tidak berhutang pada jiwa penanggap, melainkan pada tenaga hidupnya sendiri.[vi] Gagasan-gagasan tersebut berkesesuaian dengan pendapat Minke, tokoh imajinatif dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer; menurutnya, kecantikan terdapat pada letak dan bentuk tulang yang tepat yang diikat oleh lapisan daging yang tepat juga, kulit yang halus lembut, mata yang bersinar, dan bibir yang pandai berbisik.[vii]

Sebaliknya, keindahan subjektif menyatakan bahwa ciri-ciri keindahan pada suatu objek sesungguhnya tidak ada; keindahan hanyalah tanggapan perasaan dalam diri subjek yang mengamati objek tersebut; keindahan semata-mata tergantung pada pencerapan pengamat,[viii] dengan demikian bersifat relatif. Singkat kata, keindahan terdapat pada pemahaman spektator. Sebuah film menjadi indah, contohnya, karena seseorang mengalami perasaan keindahan ketika menonton film tersebut; jika ia tidak mengalaminya maka film itu tidak akan dikatakan indah.

Keindahan subjektif, contohnya, disampaikan oleh John Locke, Jonathan Edwards, Immanuel Kant, dan Benedetto Croce. Locke dan Edwards melihat keindahan bukan sebagai kualitas objektif suatu benda tetapi kualitas yang diterima dalam suatu penginderaan oleh seorang individu.[ix] Menurut Kant, keindahan tidak bersifat objektif, tidak berada pada objek yang dialami, tetapi berwatak subjektif, berada pada subjek yang mengalami.[x] Dalam doktrin Croce, keindahan, sepenuhnya, adalah ekspresi dari emosi penanggap.[xi]

Dengan berseloroh Voltaire dalam Philosophical Dictionary menggambarkan keindahan subjektif, “Tanyakan pada katak tentang kecantikan yang sebenarnya. Dia akan menjawab bahwa keindahan adalah mata bulat yang menonjol dari kepala, kerongkongan lebar, dan tubuh hijau berbintik-bintik. Tanyakan juga pada seorang Negro dari Guinea, bagi mereka mereka keindahan atau kecantikan adalah kulit hitam berminyak, mata cekung, dan hidung datar. Lalu tanyakan pada hantu, dia akan menjawab bahwa kecantikan adalah sepasang tanduk, empat cakar, dan ekor yang tajam.”[xii]

Sementara itu, kubu campuran subjektif-objektif merangkum kedua pendapat di atas. Keindahan muncul karena subjek mengalami pengalaman keindahan yang dibangkitkan oleh properti keindahan pada objek. Desain tekstil dikatakan indah, misalnya, karena subjek mengalami pengalaman keindahan saat melihat bentuk desain tekstil tersebut.

Keindahan campuran atau subjektif-objektif, antara lain, disampaikan oleh Richard Shusterman dan M.M. Syarif. Menurut Shusterman, pengalaman estetis berlaras dua: objektif-subjektif, yaitu terkait dengan apa yang dialami dan bagaimana cara mengalami.[xiii] Dalam pandangan Syarif, keindahan suatu objek tidak bersifat murni objektif atau murni subjektif. Keindahan muncul dari perpaduan atau konstruksi antara objek tertentu dan subjek dalam keadaan tertentu pula. Perpaduan antara objek yang memiliki satu atau lebih sifat kesatuan, keselarasan, maupun irama, dengan subjek yang memiliki dorongan suasana keseimbangan dinamis, akan menghasilkan keindahan.[xiv]

Pengkaitan nilai estetis pada subjek estetis dan objek estetis pada buku ini berarti bahwa keindahan bersifat subjektif dan objektif sekaligus, tidak hanya bersifat subjektif atau sekedar objektif. Ini berarti keindahan muncul ketika nilai estetis yang dimiliki oleh subjek berkesesuaian dengan properti keindahan yang ada pada objek; maka subjek mengalami pengalaman keindahan. Sebagai catatan ulang, buku ini lebih memilih istilah kemenarikan daripada keindahan: kemenarikan yang bersifat subjektif dan objektif.

Nilai estetis mewujud pada diri subjek berupa emosi estetis, yaitu perasaan senang atau tertarik pada komposisi bentuk suatu objek. Nilai estetis mewujud pada objek berupa properti estetis, yaitu komposisi bentuk yang dapat ditunjuk.

Nilai estetis sendiri adalah suatu ide atau konsep, yaitu kaidah-kaidah yang dapat dipahami akal manusia, yang sewaktu-waktu dapat dipakai subjek untuk menimbang objek. Nilai itu berada di memori subjek, akan tetapi nilai itu tidak sepenuhnya ada secara individual. Nilai estetis, sebagaimana nilai etis, berada pada individu setelah individu itu bersentuhan dengan kehidupan sosial. Nilai telah ada, atau tengah berproses, pada kehidupan sosial sebelum diterapkan pada seorang individu. Kalaupun individu itu ikut menentukan keberadaan nilai tersebut, kaidah itu tidak benar-benar beranjak dari ruang kosong, ia tengah mengembangkan atau menolak nilai yang telah ada. Untuk itu, pada buku ini, nilai diletakkan di luar lingkaran subjek namun tetap terkait dengannya.



[i] Nyoman Kutha Ratna, Estetika Sastra dan Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 210.

[ii] Oleg V. Bychkov dan Anne Sheppard, Greek and Roman Aesthetics, seri Cambridge Texts in the History of Philosophy (Cambridge dll.: Cambridge University Press, 2010), xiii-xiv.

[iii] Ratna, 2007, 211.

[iv] The Liang Gie, Filsafat Keindahan, Yogyakarta: PUBIB, 2004, 49-50.

[v] Umberto Eco, On Ugliness, terj. Alastair McEwen (London: Harvill Secker, 2007), 10.

[vi] M.M. Syarif, Iqbal tentang Tuhan dan Keindahan, terj. Yusuf Jamil (Bandung: Mizan, 1984), 101-110.

[vii] Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia (Jakarta: Lentera Dipayana, cetakan ke-17, 2011), 17.

[viii] Gie, 2004, 49-50.

[ix] James Elkins dan David Morgan, ed., Re-Enchantment (New York: Routledge, 2009), 54.

[x] Marcia Muelder Eaton, “Art and the Aesthetic”, dalam Peter Kivy, ed., The Blackwell Guide to Aesthetics (MaldenBlackwell Publishing, 2004), 64-65.

[xi] Syarif, 1984: 101-110.

[xii] Eco, 2007, 10.

[xiii] Richard Shusterman, “Aesthetic Experience from Analysis to Eros”, dalam Richard Shusterman dan Adele Tomlin, Aesthetic Experience (New York: Routledge, 2008), 79-80.

[xiv] Syarif, 1984: 101-110.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar