Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

MASA DEPAN THE REAL OPPOSITION DALAM ESTETIKA, Oleh: Deni Junaedi

 MASA DEPAN THE REAL OPPOSITION DALAM ESTETIKA

Oleh: Deni Junaedi


 

Dimuat dalam Majalah Galeri,
Media Komunikasi Galeri Nasional Indonesia,
edisi 11 – 2014, hal. 14-20. 
(PDF terlampir)

 

“Masa Depan Oposisi bagi Perkembangan Seni Rupa Kini” dipilih Galeri Nasional Indonesia sebagai tema Seminar Nasional Estetik  #1 yang digelar di Mercure Convention Centre Jakarta, 14 – 17 Oktober 2014. Empat pakar estetika Indonesia dihadirkan: Yasraf Amir Piliang, ST. Sunardi, Ignatius Bambang Sugiharto, dan Jim Supangkat. Demikian pula, moderatornya merupakan orang-orang penting dalam dunia seni rupa: Rizki A. Zaelani, Soewarno Wisetrotomo, Adrianto R Kusmara, dan Irma Damayanti.

Kata “oposisi” dalam judul itu, kendati momentumnya bertepatan, sama sekali tidak terkait dengan persoalan Koalisi Merah Putih (KMP) yang kini tengah menjadi oposisi pemerintahan Jokowi-JK yang didukung Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Dalam konteks estetika, panitia memaknai “oposisi” sebagai ‘kedaan pembedaan yang bersifat berlawanan’.

HISTORIOGRAFI: TULANG PUNGGUNG SENI RUPA

 

HISTORIOGRAFI: TULANG PUNGGUNG SENI RUPA
(Pengukuhan Agus Burhan sebagai Profesor)

Oleh: Deni Junaedi

  Diterbitkan di: Majalah Galeri Media Komunikasi Galeri Nasional Indonesia No. 17, 61-65.
(PDF majalah ada di bagian akhir)
 

 

Jika penulisan sejarah seni rupa Indonesia masih lemah, jangan harap melahirkan museum yang kuat. Persepsi seperti ini terbangkitkan ketika mengikuti pidato dalam Sidang Senat Terbuka Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. M. Agus Burhan, M.Hum tanggal 24 Februari 2016.

Persoalan museum bukan satu-satunya hal yang muncul dari kelemahan penulisan sejarah atau historiografi. Banjir lukisan palsu juga dapat menjadi efek buruk berikutnya. Celakanya, bagaimana jika jumlah sejarawan Indonesia sangat sedikit dan akademisi yang berminat pada bidang ini amat langka?

PEMATUNG TANPA STUDIO

 

PEMATUNG TANPA STUDIO

Oleh: Deni Junaedi

 

Dimuat dalam Majalah Seni Rupa Visual Arts, Edisi Mei 2011, h. 39
(PDF terlampir, klik "Read more")
 

  

          Salah satu kecenderungan seni rupa kontemporer adalah penghargaan terhadap ide yang jauh lebih tinggi—mungkin kelewat tinggi—dibanding keterampilan teknis perwujudan karya. Seseorang yang tidak mampu membuat patung, asal ia memiliki ide tertentu tentang sebuah patung, lalu memesan kepada seorang pematung, maka berhak mengklaim patung tersebut sebagai karyanya.

MERUPA SAMBIL MENELITI

 MERUPA SAMBIL MENELITI

Oleh: Deni Junaedi

 

 Pernah dimuat di Majalah Galeri Media Komunikasi Galeri Nasional Indonesia No. 13, 60-64
(PDF terlampir)

               

                “Jika kamu telah memahami karyaku,” kata Salvador Dali, “aku akan kembali membuatmu dalam ketidakpastian.” Ungkapan perupa Surealisme itu mengindikasikan bahwa karya seni mesti terus-menerus menghadirkan misteri. Rupanya cara serupa itu juga digunakan seniman besar lain. Max Ernst, pionir gerakan Dada, menyatakan, “Ketika seniman telah menemukan dirinya, berarti dia telah hilang.” Paling tidak Pablo Picasso, maestro Kubisme, menyeru, “Saat menggambar, kamu mesti memejamkan mata dan bernyayi!”

                Kondisi yang memupuk teka-teki seperti itu berlawanan dengan semangat penelitian ilmiah. Kata kunci untuk penelitian, sebagaiaman disampaikan Sosiolog Max Webber dan diikuti jutaan peneliti lainnya, adalah pemahaman atau verstehen. Istilah Jerman ini berarti proses pemaknaan secara sistematis untuk memahami hal yang diteliti.

PESAN KEKUASAAN LEWAT SENI RUPA

 

PESAN KEKUASAAN LEWAT SENI RUPA

Oleh: Deni Junaedi

 

 Pernah dimuat di Majalah Seni Rupa Visual Arts, November 2010, 42-44


            Saking leburnya, kadang peran seni rupa di dunia politik tak lagi disadari. Jika dicermati, sesungguhnya bayak pesan-pesan ideologis yang hanya efektif jika disampaikan lewat citraan visual. Contoh sederhana terlihat selama kampanye. Untuk menggaet massa, parpol menebarkan visual dengan berbagai sense, dari gambar yang mencitrakan watak seorang bapak yang mampu mengayomi, atau figur keibuan yang dekat dengan wong cilik, hingga seorang agamawan yang soleh. Tak hanya itu, logo-logo yang membawa ide tertentu dipilih yang paling mampu bercokol dalam benak masyarakat.

            Masih terekam di ingatan ketika Amerika melumpuhkan Irak dalam perang teluk jilid dua. Yang dilakukan pasukan Paman Sam pertama kali saat menerobos pusat kota Baghdad bukannya menangkap pegawai-pegawai pemerintah Irak atau membom kantor mereka, namun: merobohkan patung Saddam Husain. Mereka sadar bahwa patung itu adalah simbol kekuasaan politis Sadam. Karenanya tak boleh menunggu lama, saat itu juga, tanggal 9 April 2003, karya seni rupa itu mesti lenyap. Negeri yang gemar perang itu pun tak mau meninggalkan kekuatan visual yang mereka miliki, saat merobohkan patung raksasa itu mereka menutupi bagian wajah Sadam dengan stars and stripes, bendera Amerika. Kita memang sering lupa jika bendera termasuk bagian seni rupa.