MASA DEPAN THE REAL OPPOSITION DALAM ESTETIKA, Oleh: Deni Junaedi

 MASA DEPAN THE REAL OPPOSITION DALAM ESTETIKA

Oleh: Deni Junaedi


 

Dimuat dalam Majalah Galeri,
Media Komunikasi Galeri Nasional Indonesia,
edisi 11 – 2014, hal. 14-20. 
(PDF terlampir)

 

“Masa Depan Oposisi bagi Perkembangan Seni Rupa Kini” dipilih Galeri Nasional Indonesia sebagai tema Seminar Nasional Estetik  #1 yang digelar di Mercure Convention Centre Jakarta, 14 – 17 Oktober 2014. Empat pakar estetika Indonesia dihadirkan: Yasraf Amir Piliang, ST. Sunardi, Ignatius Bambang Sugiharto, dan Jim Supangkat. Demikian pula, moderatornya merupakan orang-orang penting dalam dunia seni rupa: Rizki A. Zaelani, Soewarno Wisetrotomo, Adrianto R Kusmara, dan Irma Damayanti.

Kata “oposisi” dalam judul itu, kendati momentumnya bertepatan, sama sekali tidak terkait dengan persoalan Koalisi Merah Putih (KMP) yang kini tengah menjadi oposisi pemerintahan Jokowi-JK yang didukung Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Dalam konteks estetika, panitia memaknai “oposisi” sebagai ‘kedaan pembedaan yang bersifat berlawanan’.

Nilai estetis yang kini tengah merajai dunia seni rupa Indonesia, bahkan kesenian pada umumnya di seluruh dunia, adalah “Anything Goes” (Apapun Boleh). Dalam prinsip "Anything Goes, penilaian berdasar prinsip pertentangan atau oposisi nilai (yang baik terhadap yang buruk; yang indah terhadap yang jelek; yang benar terhadap yang salah) dianggap tidak berlaku lagi.

Dengan demikian, “oposisi” merupakan oposisi terhadap “Anything Goes”. Pertanyaannya adalah: dapatkah keempat estetikus tadi menunjukkan the real opposition (oposisi sejati) terhadap nilai estetis “Anything Goes”? Jika mereka belum menunjukkan, pertanyaan selanjutnya adalah: adakah oposisi sejati terhadap nilai estetis “Anything Goes”? Jika ada, pertanyaan penting lainnya ialah: bagaimana masa depan the real opposition itu?

 

Berkutut pada “Anything Goes

                Dari ruang seminar yang dapat digunakan untuk menikmati keindahan pantai Ancol itu, keempat pembicara mendapat waktu yang luas untuk memaparkan gagasannya. Masing-masing dijatah setengah hari, dan peserta pun leluasa untuk bertanya. Event ilmiah itu berjalan penuh gairah.

Bambang memaparkan sejarah estetika, sejak Baumgarten hingga Hal Foster. Dari sejarah panjang itu dia melihat paradoks: pada ranah filsafat, makna estetika semakin menciut dan akhirnya bahkan disangkal; di sisi ilmu empirik, istilah estetika justru berkembang. Profesor lulusan Thomas Aquinas Roma ini sama sekali tidak menyinggung oposisi “Anything Goes” atau sesuatu hal yang sama dengan itu.

Pada giliran kedua, Jim mengawali dengan persoalan global art. Kemudian ia menukik pada wacana “the end of art” yang digelontorkan Hegel dan Danto. Akhirnya kurator nomer wahid Indonesia ini bermanuver dengan membaca karya Raden Saleh melalui kacamata Hegel. Dengan demikian, oposisi “Anything Goes” tidak terpetakan secara jelas.

Di hari berikutnya, Yasraf, sesuai dengan kepakarannya, memaparkan estetika postmodern. Tentu saja dia tidak lupa melafalkan keruntuhan “Teori Besar” – seperti rasionalitas dan universalitas – yang menjadi jantung estetika modern, untuk merayakan “teori-teori kecil” – seperti lokalitas dan pluralitas – yang menjadi pujaan postmodern. Dengan mengatakan, “‘Teori-teori kecil’ yang dibangun di dalam wacana(-wacana)  art theory masa kini tidak membawa dunia seni ke arah sebuah ‘Teorisasi Tunggal’, akan tetapi pada multiplisitas teori-teori yang lebih kaya...” berarti penulis buku terkenal Dunia yang Dilipat ini tidak sedang mencari oposisi “Anything Goes”, tetapi justru sedang menggendongnya.

Sebagai pembicara pamungkas, Sunardi, di awal makalahnya, sadar tentang “tumbangnya rejim estetik tertentu” dan “dimulainya rejim baru”. Akan tetapi, dosen favorit di program Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Darma Yogyakarta ini segera tenggelam dalam keasyikan filsafat Kant tentang keindahan dan, terutama, sublim atau pengalaman kegum bercampur ngeri. Ia melanjutkan dengan Nietzsche yang merespon sublim dalam prinsip seni Apollonian dan Dionysian. Tidak lupa Sunardi menyejajarkan sublim Kantian dengan jouissance Lacanian. “Rejim estetika baru” seperti apa yang bakal muncul terlupakan pada pembahasannya; dengan kata lain, ia pun tidak menajawab oposisi “Anything Goes”.

Singkat kata, jangankan memprediksi masa depan seni rupa di tengah kehidupan global, keempat tokoh tadi belum melihat the real opposition untuk “Anything Goes” dalam estetika.

 

Mencari “The Real Opposition”

Sebenarnya pintu untuk melihat the real opposition telah ditulis Jim Supangkat; sayangnya dia tidak memasuki pintu itu. Jim sadar bahwa mengidentifikasi global art dengan mendiskusikan budaya etnik dapat dipastikan akan mengalami kemacetan. Ia menyitir Padma Desai yang menyatakan bahwa fundamentalisme agama akan tampil sebagai isu-isu global; Desai juga mendesak dunia untuk memahami, misalnya, Islam.

Selain itu, ketika Jim membahas wacana Danto tentang the end of art yang bersumber pada Hegel; semestinya ia juga mengingat tulisan Francis Fukuyama yang telah ada beberapa tahun sebelumnya tentang the end of history, yang juga berlandaskan teori Hegel tentang proses dialektis. Ini sebagaimana yang dilakukan David Carrier ketika menulis “Danto’s Aesthetic: Is It Truly General As He Claims?” dalam buku Danto and His Critics. Menurut Fukuyama, setelah Barat menahlukkan rival ideologisnya dalam Perang Dingin, dunia menuju akhir sejarah, yaitu kemenangan Demokrasi Liberal. Akan tetapi, tesis Fukuyama segera menjadi basi setelah kehadiran tulisan Samuel P. Huntington The Clash of Civilizations and Remaking of World Order. Sejarah tidak akan segera berakhir; Demokrasi Liberal bukan tanpa tandingan. Huntington mengingatkan bahwa Islam adalah salah satu peradaban besar yang berpotensi bangkit dan mesti diwaspadai Barat.

Sinyalemen Desai maupun Huntington menjadi salah satu pintu masuk untuk melihat oposisi sejati dari “Anything Goes”, yaitu dengan melihat Islam. Ternyata, seni tidak akan segera berakhir dengan “Anything Goes”; masih ada nilai estetis Islam sebagai oposisi.

 

Akar-Akar Perbedaan

Nilai estetis Islam tidak sekedar berbeda dengan nilai estetis “Anything Goes”, tetapi keduanya bertolak belakang, beroposisi. Perbedaannya sejak dari hulu hingga menghasilkan hilir yang berbeda; sejak worldview yang melandasi, sistem pemerintahan yang menjaga, sistem ekonomi yang menopong, hingga nilai estetis yang diekspresikan dalam kesenian.

Anything Goes” merupakan tingkat lanjut dari kebebasan ala Liberalisme. “Anything Goes” dapat dilihat sebagai istilah praktis untuk nihilisme yang diajarkan oleh Nietzsche. Nihilisme merupakan devaluasi nilai, menuju kematian makna; ini menjadi ajaran favorit dalam dunia postmodern. Pada era modernisme, Liberalisme diejawantahkan dalam konsep l’art pour l’art (seni untuk seni). Victor Cousin mengumandangkan, “Kita mesti memiliki agama untuk agama, moral untuk moral, sebagaimana seni untuk seni itu sendiri.” Pada musimnya, kaidah seni untuk seni sangat dijunjung tinggi, sampai-sampai Gustave Flaubert, novelis Perancis, memandang art for art’s sake sebagai agama. Kendati nilai estetis modernisme dengan postmodern selalu dihadap-hadapkan, sejatinya, keduanya tengah merayakan nilai-nilai yang sama: Liberal.

Liberalisme tidak bakal muncul tanpa Sekulerisme yang memisahkan nilai agama dari urusan keduniaan, terutama pada tatanan negara. Sebagaimana keyakinan Isaac Newton, dalam padangan sekuler, Tuhan diidentikkan dengan pembuat arloji yang beristirahat begitu arloji rampung dirakit, tidak perlu ikut memutar jarumnya; maka dunia dipandang sebagai mesin yang berjalan di bawah hukum mekanika. Karena Tuhan tidak memiliki campur tangan, maka manusia bebas berbuat; batasannya hanyalah tidak melanggar kebebasan orang lain. Hasilnya, seniman Liberal bebas menciptakan apapun, tidak ada batasan.

Sementara itu, berdasarkan dalil aqli (argumentasi akal) Islam meyakini bahwa alam yang bersifat terbatas dan tergantung ini diciptakan oleh al-Khaliq (Sang Pencipta) yang azali (tidak berawal dan tidak berakhir). Berdasarkan dalil aqli pula, Islam meyakini bahwa al-Quran adalah wahyu Allah. Ini dibuktikan dengan ayat tantangan buat orang-orang yang meragukannya. Para peragu diminta untuk membuat surat tandingan yang semisal dengan al-Quran. Tantangan semacam itu, antara lain, terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 23, “Dan jika kamu dalam keraguan tentang al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat yang semisal dengannya, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” Hingga kini tantangan tersebut tidak terjawab. Ayat selanjutnya, al-Baqarah 24, mempertegas, “Maka jika kamu tidak dapat membuat, dan pasti kamu tidak akan dapat membuat, peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya berupa manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.”

Menurut Islam, peran Tuhan dalam kehidupan tidak disingkirkan; bahkan, seluruh aspek kehidupan umat Muslim mesti berpusat pada-Nya: beribadah. Ini disebutkan dalam surat az-Zariyat ayat 56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” Sebagaimana disampaikan Ibnu Katsir maupun Yusuf al-Qardhawy, kata ibadah dalam ayat ini bermakna luas, yaitu mencakup semua aspek kehidupan.

Beribadah merupakan aktivitas yang disertai ruh Islam, ruh dalam pengertian kesadaran manusia bahwa ia berhubungan dengan Allah.  Untuk itu, dalam Islam, aktivitas berkesenian, jika dilakukan berdasarkan ruh Islam, juga termasuk ibadah. Ini berarti menjalankan penciptaan karya seni dengan bersandar pada syariat yang tertera dalam al-Quran maupun Hadis. Seni Islam adalah seni yang sesuai dengan syariat. Berkesenian adalah aktivitas ibadah. Nilai estetis Islam adalah nilai yang sesuai dengan al-Quran dan hadis. Lebih ringkas lagi, seni Islam adalah “seni untuk ibadah”.

Dengan demikian nilai estetis Islam tidak mungkin Anything Goes”. Nilai estetis Islam adalah oposisi sejati terhadap nilai estetis Anything Goes”.

 

Masa Depan “The Real Opposition”

Sebagaimana ditunjukkan dalam sejarah seni rupa – seperti di Mesir Kuno, India Kuno, Byzantium, dan berbagai peradaban lainnya – kejayaan seni terkait dengan pemerintah yang berkuasa dan kepercayaan yang dianut. Dengan demikian, untuk memprediksi nilai estetis apa yang bakalan berjaya di masa depan, tidak hanya untuk Indonesia tetapi di seluruh dunia, maka prediksi politik masa depan menjadi syarat untuk mengetahuinya.

Lembaga penelitian dari Amerika Serikat, National Intellegence Council (NIC), pada tahun 2004 membuat penelitian Mapping Global Future untuk memprediksi keadaan dunia tahun 2020. Hasilnya, salah satu dari empat kemungkinan yang bakal terjadi adalah kemunculan ulang Khilafah Islam (a New Calipate). Khilafah adalah negara yang berdasarkan syariat Islam yang berusaha menyatukan seluruh dunia. Penelitian NIC selaras dengan hasil survei Pew Research Center (PRC), The World’s Muslims: Religion, Politics and Society, yang dilansir tanggal 30 April 2013. Lembaga yang berbasis di Washington itu menghitung jumlah pendukung syariah Islam di berbagai negara, antara lain: Rusia 42%, Afganistan 99%, Pakistan 84%, Irak 91%, Palestina 89%, Mesir 74%, Malaysia 86%, Indonesia 72%. Di lapangan, revolusi Arab Spring, khususnya dalam kasus Suriah, juga mengarah ke sana. Awal Desember 2012, para Mujahidin Suriah yang semakin menguasai medan bertekat menegakkan Khilafah. Selain itu, di samping beberapa orang Islam yang skeptis tentang kemunculan ulang Khilafah, opini penegakan Khilafah terus digemakan di berbagai kota dunia. Hadis dalam Musnad Ahmad tentang Khilafah dengan metode Nabi (Khilafah 'ala minhajin nubuwwah) yang bakal kembali tertegakkan semakin menyemangati gerakan itu.

Membahas Khilafah tentu akan menyinggung persoalan yang tengah sensitif: ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Jika benar apa yang dikatakan Edward Snowden, Mantan pegawai Badan Keamanan Nasional (NSA) dan agen Central Intelligence Agency (CIA), sebagaimana disampaikan oleh lembaga penelitian The Centre for Research on Globalization (CRG) yang berada di Kanada, ISIS adalah buatan Amerika, Inggris, dan Mossad. Strategi “the hornet’s nest” (sarang lebah) ini diciptakan untuk memerangkap orang-orang Islam yang berusaha mewujud negara Khilafah dengan metode jihad. Terlepas dari benar atau salah informasi itu, kejatuhan kota Mosul oleh pasukan ISIS memang sangat janggal, berbau rekayasa. Di kota terbesar kedua Irak itu, pasukan pemeritah Irak yang jumlahnya jauh lebih besar ketimbang milisi ISIS sama sekali tidak melakukan perlawanan; mereka justru meninggalkan senjata dan memakai pakaian sipil. Selain itu, dalam tinjauan hukum Islam, Khilafah versi ISIS tidaklah memenuhi syarat sah untuk disebut Khilafah, karena, antara lain, tidak memiliki wilayah otonom dan keamanannya belum sepenuhnya di tangan kaum Muslim. Dengan demikian, Khilafah sejati masih dinanti-nanti.

Sementara itu, menurut pengamat dari Perancis, Emmanuel Todd, “Amerika sangat lemah baik secara ekonomi, militer, dan bahkan ideologi.” Kini pusat Kapitalisme itu, bersama beberapa negara Eropa, tengah menghadapi krisis ekonomi. Beberapa saat lalu, Amerika menghadapi gerakan Occupy Wall Street.

Membicarakan Liberalisme memang tidak dapat dilepaskan dari Kapitalisme. Menurut Bertarnd Russell, “Liberalisme, Kapitalisme, maupun Demokrasi ada di satu paket ideologi.” Bahkan Greg Russell menyatakan, “Demokrasi yang tidak Liberal bukan hanya tidak memadai melainkan juga berbahaya.”

Maka semakin jelaslah bentuk oposisi sejati itu: sistem Khilafah beroposisi dengan sistem Demokrasi; ekonomi Islam beroposisi dengan ekonomi Kapitalisme; dan nilai estetis Islam beroposisi dengan nilai estetis Liberalisme. Untuk prediksi masa depan, jika Khilafah yang membawa ideologi Islam tertegakkan, maka nilai estetis Islam sebagai nilai estetis yang dominan akan menyertainya. []

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar