SENIMAN CAT AIR PAPAN ATAS: Teguh Wiyatno Berbahasa Visual Surealistik

Teguh Wiyatno Berbahasa Visual Surealistik

Oleh: Deni Je

 

             Teguh Wiyatno lahir tanggal 13 Mei 1978 di Kutoarjo, kota kecil dekat Purworejo Jawa Tengah. Keluarganya sangat miskin. Ayahnya yang bekerja sebagai buruh pabrik kerupuk hanya mampu menyewa rumah berlantai tanah dan berdinding gedek, anyaman bambu. Ia sudah menunjukkan ketertarikan menggambar sejak sebelum TK. Saat belajar agama Islam di “Sekolah Arab” Parakan ia tertarik membuat kaligrafi Arab.

Kegemarannya membaca dan mengamati komik membuat Teguh Wiyatno bercita-cita sebagai seorang komikus. Kegemarannya tersebut tidak disukai oleh keluarga, meski begitu ketika SMP ia mampu membaca 20 komik dalam sehari. Lebih dari itu Teguh dapat membuat 3 buku komik setebal 200 halaman. Melihat bakat melukisnya, guru BP-nya menyarankan Teguh melanjutkan di SMSR Yogyakarta.


Teguh Wiyatno bersama karyanya yang sedang dalam proses penciptaa


Tahun 1995 ia resmi sebagai murid SMSR. Ketika Praktek Kerja Lapangan (PKL) Teguh ditempatkan di Percetakan Intan Pariwara dalam bidang illustrasi. Hal tersebut tentu menjadi penyaluran kesukaannya pada komik. Karena kemampuannya ia sempat ditawari sebagai illustrator tetap di percetakan tersebut, namun ia tidak menerima tawaran itu karena merasa tidak enak dengan yang lain, saat itu banyak pegawai yang dipecat karena krisis moneter.

Tahun 1998 ia kuliah di ISI Yogyakarta minat utama Seni Lukis. Secara khusus Teguh mulai tertarik pada seni lukis dan hampir tidak pernah membuat komik lagi. Ia memilih gaya surealistik fotografis untuk mengungkapkan ide-idenya. Karena teknik yang dipilihnya harus dikerjakan dalam waktu yang lama ia tidak mampu mengejar tugas-tugas yang diberikan di kampus. Dengan alasan tersebut disamping alasan ekonomis, ia terpaksa berhenti kuliah saat semester 3.

Teguh mampu mengangkat tema pergulatan pemikiran dalam diri maupun persoalan politik, Berikut ini beberapa karyanya. Lukisan berjudul Kunci menggambarkan kesadaran antara hubungan dirinya dengan Sang Pencipta. Hubungan tersebut adalah kunci yang mampu memberikan ketentraman hati dan memuaskan akal. Kesadaran ini mampu membuka gerbang cahaya dari langit di tengah pekatnya awan.

Teguh Wiyatno, The Key, 2016,
watercolour on paper, 96 x 56 cm


Sementara itu, Lokomotif Hijau menyampaikan tentang sebuah system yang ibarat gerbong lokomotif, yaitu membawa warna, arah, dan tujuan peradaban manusia. Kapitalisme sebagai salah satu sistem yang saat ini diterapkan di dunia membawa banyak dampak buruk bagi kehidupan. Karakter sistem kapitalisme cenderung mengekploitasi alam dan bahkan manusia itu sendiri. Sistem ini menciptakan jurang kemiskinan yang teramat dalam dan menganga. Bahkan, Kapitalisme merusak ekosistem alam, laut, dan udara; bencana dan polusi terjadi dimana-mana. Kini, penolakan dan gugatan terhadap sistem ini pun terjadi di pusat Kapitalisme itu sendiri. Untuk itu, dunia membutuhkan gerbong lokomotif baru, lokomotif yang tidak hanya mengepulkan asap hitam bagi kehidupan. Dunia perlu lokomotif yang mampu mengembalikan birunya langit dan hijaunya alam. Lokomotif yang mampu membawa rahmat bagi seluruh alam.



Teguh Wiyatno, The Green Locomotive, 2015,
watercolour on paper, 112 x 96 cm


Selain itu, Perjalanan Pemikiran #1 terinspirasi materi kitab Peraturan Hidup dalam Islam (Nizham al-Islam) yang ditulis Taqiyuddin An-Nabhani. Bab pertama buku itu, “Jalan Menuju Iman”, menyodorkan pertanyaan penting, yaitu: darimana kehidupan ini berasal, untuk apa hidup ini, dan ada apa setelah kehidupan ini. Jawaban atas pertanyaan itu akan mempengaruhi cara pandang dan tingkah laku manusia. Jawaban yang tepat atas persoalan itu mesti dapat memuaskan akal maupun menentramkan hati. Seseorang yang belum dapat menjawab persoalan tersebut digambarkan oleh lukisan ini seperti kapal yang terombang-ambing dalam kabut pekat. Menurut Teguh, “Ketika bahtera kehidupan berlayar tanpa arah, terombang-ambingkan kabut pekat, kemana hendak mengikat sauh? Apakah rel perjalanan yang selama ditempuh akan membawa tujuan penuh kepastian? Atau hanya sekedar lintasan fatamorgana yang berkelok tanpa ujung? Akal dipermainkan, perasaan terjerat kegelisahan? Awalnya adalah pertanyaan: apa, siapa, untuk apa? Ribuan pertanyaan dahaga mencari jawaban, jawaban yang menentramkan hati dan memuaskan akal.”


Teguh Wiyatno, Thought Journey #1,
2015, watercolour on paper, 96 x 56 cm


Teguh Wiyatno, Interpreting the Time,
2016, watercolour on paper, 96 x 56 cm







Tidak ada komentar:

Posting Komentar