Agus Baqul
Purnomo
Dulu, Kini, dan
Kelak
Oleh: Deni Junaedi*
Tulisan ini dimuat dalam Katalog Pameran Tunggal Lukisan
Agus Baqul Purnomo, Transit, tahun 20015, di Bentara Budaya Yogyakarta
Kini posisi Agus Baqul Purnomo dalam
peta seni rupa Asia semakin menguat. Wilayah kaligrafi kontemporer tidak dapat
dibahas tanpa kehadirannya. Perupa kelahiran 1975 ini tiada henti
mengeksplorasi persoalan tersebut dan intens berpameran di berbagai kota besar
Asia, seperti: Kuala Lumpur, Singapura, Dubai, Tokyo, Manila, Seoul, Beijing,
Taiwan, Jakarta, Bandung, Bali, Magelang, dan tentu saja Yogyakarta; bahkan
mulai melebar ke Liverpool, Athena, dan California.
Penggalan aktivitas panjangnya dapat dicermati dalam pameran Transit yang menampilakan karya pilihan tahun 2005 hingga 2015. Pameran tunggal ini juga dapat digunakan untuk memprediksi bagaimana karya Baqul kelak. Dengan kata lain, gelar lukisan ini mengindikasikan kegairahannya selama berproses: ia telah melakukan perjalanan panjang dan akan menuju perjalanan yang lebih panjang lagi.
Pra-2005: Jalan Seni dan hanya Jalan Seni
Jauh sebelum 2005, sejak SD, Baqul telah menunjukkan
kecintaannya pada bidang seni rupa. Pria asal Sukorejo Kendal Jawa Tengah ini
tiada henti membuat sketsa maupun drawing. Setelah mengenal cat minyak,
semangatnya untuk melukis semakin tampak. Tidak hanya di wilayah praktek,
kesadarannya pada wacana terlihat pada kegilaan mengumpulkan kliping seni rupa
dari koran maupun majalah. Di SMA ia dipercaya sebagai ilustrator majalah
siswa. Bahkan, Baqul kecil juga mampu mengapresiasi karya orang lain, dengan
bangga ia memulung pecahan piring dan mangkok yang bermotif unik, “Ini seperti
pecahan tebikar kuno asal Tiongkok,” katanya serius.
Semangat semacam itu untuk anak yang hidup di kota
besar adalah biasa, namun untuk Baqul yang hidup di kampung kecil jauh dari
hingar-bingar seni rupa menjadi luar biasa. Di tengah masyarakat yang masih
mengidentifikasi seniman sebagai kesuraman masa depan, ia bersama sahabatnya
mendirikan sanggar seni seni rupa dan berhasil menyelenggarakan beberapa
pameran.
Kesungguhannya pada jalan seni rupa terbukti dan
sekaligus teruji, terutama, ketika ia memutuskan untuk kuliah seni lukis di
Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Kendati telah menelisik dan
mempelajari materi ujian masuk, anak pemilik warung makan ini terpaksa
terpental saat pertama kali mendaftar. Tidak mau menyerah, Baqul belajar lagi dan
mendaftar lagi. Sayang, di tahun kedua namanya juga belum muncul di daftar
mahasiswa. Ia tidak patah, bahkan semakin kukuh, tidak mau kuliah di kampus
lain. Setelah magang beberapa bulan di seniman senior, Iswanto,
akhirnya ia diterima di Minat Utama Seni Lukis ISI Yogyakarta angkatan 1996.
Sebagai mahasiswa seni, Baqul menjelajah beragam
langgam visual, dari realistik, naturalistik, kubistik, deformatif, hingga
abstrak. Namun demikian, jejaknya menunjukkan kegandrungan pada keindahan
huruf. Bahkan sebelum kuliah, kegemaran semacam itu sudah muncul. Misalnya, di
pojok bawah lukisan pohon yang dibuat dengan cat air, Baqul membubuhkan tulisan
Tiongkok meskipun ia tidak paham maknanya, malah tidak tahu apakah tulisan itu
dapat dibaca atau tidak. Cara yang hampir sama mucul lagi di akhir-akhir masa
studinya. Baqul membuat karya abstrak yang berbasis pada huruf China
tradisional.
|
Lukisan Baqul di akhir masa kuliah; abstrak yang terinspirasi dari gerak goresan kaligrafi Tiongkok |
Singkat cerita, di tahun 2005 Baqul diwisuda dengan gelar Sarjana Seni. Perupa muda yang mahir bergaul ini siap terjun di dunia seni rupa profesional, karena sejak mahasiswa ia tidak hanya menjadi “mahasiswa tugas”. Berbagai pameran di luar kampus telah diikuti, terutama yang diselenggarakan oleh Gelaran Budaya. Bahkan di tahun 2001 ia telah menggelar pameran tunggal perdana dengan juluk Ruang Tanpa Ruang.
2005-2015: Dinding-Dinding yang
Kokoh
Baqul memilih lukisan abstrak untuk pameran Tugas
Akhir pada 2005. Karya abstrak adalah pertarungan murni nilai artistik. Karena
tidak menyampaikan pesan-pesan tertentu, lukisan jenis ini bertumpu sepenuhnya
pada unsur visual seperti warna, garis, dan bentuk. Baqul dapat mengelolanya
dengan dinamikan komposisi maupun teknik. Garis spontan terkombinasi dengan
bidang geometris terukur; teknis transparan terpadu dengan teraan opaque; warna terang bersisihan dengan
tonalitas gelap secara gradatif maupun tegas.
Bermukim di ranah abstrak mengasah kepekaan estetis
Baqul. Modal seperti ini sangat penting dan akan terbawa ketika ia mengangkat
angka dan huruf. Dengan demikian, pemindahan dari karya abstrak ke kaligrafi
bukanlah suatu perubahan yang terputus namun perkembangan artistik yang
berkesinambungan.
Terlepas dari itu, ia merasa karya abstrak kurang
memberi ruang untuk menyampaikan tema-tema tertentu, padahal seniman ini
tergolong gemar membaca dan mengikuti ceramah. Ia memiliki beragam kegelisahan
konseptual yang perlu disampaikan lewat karya-karyanya.
Selain itu, ada pemantik yang memunculkan angka di lukisannya, yaitu peristiwa unik yang dialami setelah berbelanja di Carrefour. Sesampai di rumah, Baqul menyadari bahwa kasir supermall itu salah hitung. Setiap item yang dibeli tercetak dua kali sehingga harga yang mesti dibayar berlipat dua. Alih-alih komplain, ia masuk ke ruang kerja untuk meluapkan kemarahan: menggelar kanvas, menjajar cat akrilik, dan bertarung dengan kuas. “Saat itu,” kata Baqul mengenang, “aku menggores berbagai warna di kanvas secara acak dan menulis angka secara tumpang-tindih.” Kasus yang terjadi pada 2007 ini melahirkan karya Akhir Bulan yang Bodoh.
Akhir Bulan yang Bodoh, 2007; lukisan angka yang menjadi ventilasi emosi Baqul |
Lalu Baqul dengan cermat dan cerdas membaca dunia
angka yang bersemayam di tengah masyarakat, “Saat ini kita menggunakan angka
untuk membeli angka, misalnya, menggunakan uang untuk membayar pulsa atau
memasukkan pin untuk medapatkan kode booking.”
Akan tetapi, ia tidak lagi mempermasalahkan hal itu. Pada perkembangan lebih
lanjut, ketimbang memakna-maknai, kini angka – selain huruf – lebih sebagai
identifikasi diri.
Setelah kenyang mengeksplrorasi angka, termasuk
berpameran tunggal dengannya pada Numbers
in the Sky yang dikurasi Eva McGoven, Baqul memasuki tema baru. Valentine
Willie, pemilik Valentine Willie Fine Art (VWFA), menantangnya untuk membuat
kaligrafi Arab atau Jawa. Seniman Jawa yang masa kecilnya rutin mengaji ini
memilih kaligrafi Arab, apalagi ketika kuliah dia juga pernah mencoba
membuatnya.
Baqul merenung, ia mesti memunculkan kaligrafi yang artistik, sekaligus ia sadar bahwa dirinya hampir tidak pernah bersentuhan dengan khot pakem kaligrafi Arab. Untuk itu, ia tetap mempertahankan langgam angka yang ditulis berulang-ulang, bertumpuk-tumpuk, dan menggunakan garis spontan; maka lahirlah lukisan al-Fatihah yang berangka tahun 2008.
Al-Fatihah, 2008; |
|
Kepuasan artistik atas karya itu dilanjutkan dengan pengembangan ekplorasi visual. Ritme maupun dinamika warna digunakan untuk mengangkat doa-doa harian maupun ayat-ayat al-Quran tentang alam semesta yang mengingatkan pada kebesaran Sang Pencipta. Hasil yang dipaparkan dalam pameran tunggal Recite!/Iqra’! maupun Universe(s) mampu menyegarkan dunia kaligrafi Arab yang selama ini cenderung didekati dengan pertimbangan geometris.
Lewat pilihan itu, lukisan Baqul sering disandingkan
dengan karya perupa papan atas lain, seperti: Eko Nugroho, Jumaldi Alfi, Agus
Suwage, Putu Sutawijaya, Joseph Ermi Lofranco, Julio Austria, Mohamad Kamal
Sabran, maupun Suzlee Ibrahim. Maka tidak aneh ketika pada perhelatan Art Dubai 2012 seluruh karyanya berpindah
ke tangan kolektor.
Pasca-2015: Amunisi Baru
Baqul tahu bahwa pameran
ini bukanlah pameran retrospeksi sebagaimana yang biasa dilakukan oleh seniman pinisepuh setelah berkesenian lebih dari
setengah abad. Oleh karena itu, pameran ini lebih sebagai transit untuk menuju
perjalanan yang lebih panjang. Untuk mengira-ngira karya Baqul ke depan, perlu
memahami pemahaman dan konteks kehidupannya.
Pertama, terkait dengan
pemahaman, Baqul mempercayai bahwa dalam Islam informasi mesti disampaikan
secara tepat. Maka, meskipun teks dalam kaligrafinya bertumpuk-tumpuk, ia
membuatnya secara tepat, tidak boleh ada tanda baca yang terlewat. Ia juga
meyakini bahwa teks al-Quran berasal dari al-Kholiq.
Ini dibuktikan dengan ayat yang menantang orang-orang yang ragu bahwa al-Quran
berasal dari Sang Pencipta. Tantangan semacam itu, antara lain, terdapat dalam
surat al-Baqarah ayat 23, “Dan jika kamu dalam keraguan tentang al-Quran yang
Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat yang semisal
dengannya, dan ajaklah para penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang
benar.” Tantangan ini tidak bakal terjawab karena ayat selanjutnya mempertegas, “Maka
jika kamu tidak dapat membuat, dan pasti kamu tidak akan dapat membuat,
peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya berupa manusia dan batu,
yang disediakan bagi orang-orang kafir.”
Kedua, terkait dengan konteks kehidupan, sejak
kecil hingga kini Baqul bersentuhan dan aktif dalam organisasi Islam. Saat
kanak-kanak ia belajar membaca al-Quran di guru ngaji Nahdhotul Ulama. Lalu, ia
bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah yang dibimbing tokoh al-Islam. Kemudian, ketika
remaja ia sibuk mengikuti kegiatan Muhammadiyah. Menginjak dewasa Baqul
terlibat dalam Pelajar Islam Indonesia, organisasi yang kala itu dimusuhi dan
dipantau mata-mata Orde Baru. Kini, setiap minggu ia mengikuti halaqoh Hizbut Tahrir, organisasi Islam
militan yang tersebar di Asia, Timur Tengah, Afrika, Australia, Amerika, dan
Eropa.
Dengan demikian, untuk
persoalan tema, kemungkinan besar Baqul masih akan mengeksplorasi kaligrafi
Islam. Akan tetapi, karena dia juga mengamati pergolakan dunia Internasional
khususnya yang terjadi di negeri Muslim, teks yang diangkat mungkin akan
bergeser pada persoalan politik dan hukum Islam, seperti hadis tentang sistem
ekonomi Islam atau bahkan ayat tentang jihad.
Adapun perihal material,
teknik, atau kebentukan, Baqul termasuk perupa yang terus melakukan eksplorasi.
Sebenarnya kini, meskipun belum dipamerkan, Baqul telah membuat karya dengan
bahan non-konvensional, seperti huruf Latin yang ditulis di keset. Ia juga
membubuhkan teks pada centong nasi, ini mengingatkan pada karya yang dibuat
saat dia masih kecil, centong ukir. Jika jalur ini dipilih dan kaligrafi Arab
tetap dipertahankan, karyanya akan penuh dinamika dan menawarkan ribuan
terobosan baru sekaligus tidak terlepas dari rantai perjalanan. Benarkah, kita
tunggu saja apa yang bakal dilahirkan perupa penuh senyum ini. []
* Deni
Junaedi adalah dosen estetika di ISI Yogyakarta dan penulis seni rupa di majalah
Galeri Media Komunikasi Galeri
Nasional Indonesia. Sejak kecil ia bersahabat dengan Agus Baqul Purnomo. Di
lereng Gunung Perahu, rumah keduanya hanya berjarak tiga menit perjalanan kaki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar