PEMATUNG TANPA STUDIO
Oleh: Deni Junaedi
Dimuat
dalam Majalah Seni Rupa Visual Arts, Edisi Mei 2011, h. 39
(PDF terlampir, klik "Read more")
Salah satu kecenderungan seni rupa kontemporer adalah penghargaan terhadap ide yang jauh lebih tinggi—mungkin kelewat tinggi—dibanding keterampilan teknis perwujudan karya. Seseorang yang tidak mampu membuat patung, asal ia memiliki ide tertentu tentang sebuah patung, lalu memesan kepada seorang pematung, maka berhak mengklaim patung tersebut sebagai karyanya.
Sebelum
wacana seni kontemporer ramai digulirkan di Indonesia, bisa dipastikan
seseorang yang menyandang gelar pematung adalah seorang ahli yang tahu persis
urusan teknis pembuatan patung. Asistensi dalam proyek pembuatan patung,
apalagi jika berukuran besar, memang menjadi keniscayaan karena tidak mungkin
seorang pematung bekerja sendirian. Namun, kala itu seorang pematung tetap
terjun langsung dalam proses penciptaan karyanya.
Terlepas dari
kontroversi keterlibatan artisan dalam penciptaan karya seni rupa (penulis
pernah membahasnya lewat artikel “Artisan
Pembantu Kontroversial” di Visual Arts edisi Januari 2010), tulisan ini
untuk melihat praktek beberapa pematung Yogyakarta yang dapat menangkap peluang
fenomena di atas. Mereka memanfaatkan momentum, melayani perupa yang ingin
memasan “seni objek” atau “seni tiga dimensional” (perupa kontemporer sering
alergi menamai karyanya dengan istilah “seni patung”, apalagi menamai dirinya
sebagai “pematung” [ini mungkin sebuah tanda bahwa dirinya tidak mahir membuat
patung]).
Beberapa
pematung Yogyakarta yang mampu menangkap peluang pasar patung pesanan perupa tersebut
antara lain Ichwan Noor, Sumbul Pranowo, Pramono Pinunggul, Badari Mustaq, dan
Setyawan Suryo Utomo. Ichwan Noor, yang membuka Sempufineart Studio, terhitung
paling besar dan dipercaya banyak perupa kontemporer yang namanya tengah
beredar di dunia seni rupa nasional maupun internasional. Sementara Sumbul
Pranowo menerapkan managemen penciptaan karya yang unik. Kita akan melongok
kedua studio tersebut.
Antre Mengantri
Perupa
kontemporer yang datang ke studio Ichwan Noor umumnya lebih senior dibanding
yang ke Sumbul Pranowo. Perupa yang mempercayakan idenya dieksekusi Ichwan
antara lain seorang perupa papan atas alumni ITB yang terkenal dengan
drawingnya, ia memesan patung jerangkong. Tak kalah kondang dengan perupa tadi,
ada juga perupa kontemporer alumni ISI Yogyakarta yang memesan relief plat
alumunium untuk memenuhi dinding galeri.
Demikian juga
dengan seorang perupa dan sekaligus pemiliki galeri kontemporer paling
bergengsi di Yogyakarta, tanpa ragu menetapkan pilihan pada Sempufineart
Studio. Ia juga merekomendasikan perupa yang tengah residensi di rumah seninya
untuk berbondong-bondong memberi order Ichwan Noor.
Ichwan juga
mengerjakan patung pesanan seorang perupa yang terkenal sebagai pembuat komik
indie. Selain itu, dua orang perupa yang juga berprofesi sebagai dosen seni
rupa ikut nimbrung memesan karya di Sempufineart. Bahkan ada juga beberapa perupa
kontemporer papan atas yang tergabung dalam kelompok seni rupa sesuku turut
mengantri di studio Ichwan. Masih banyak perupa lain, termasuk yang kini
tinggal di luar negeri atau memang berasal dari negeri luar, turut berasyik-asyik
ke studio patung di tengah hutan itu.
Sementara perupa
kontemporer yang memilih studio Sumbul Pranowo relatif lebih muda, namun tetap
saja karyanya diburu pasar. Misalnya, seorang alumni seni rupa IKIP Yogyakarta
(sekarang UNY) yang terkenal sebagai pelukis potret tokoh dunia mempercayakan
ide patungnya digarap Sumbul. Pelanggan studio Sumbul yang lain adalah seorang perupa
yang terkenal mengeksplorasi visual ala pixel komputer.
Seorang perupa
yang biasa membuat lukisan dengan figur berfaset-faset yang dikerjakan dengan
teknik transparan akrilik, juga bertandang ke studio Sumbul. Ia meminta Sumbul
mewujudkan figur tersebut dalam wujud tiga dimensional. Cara yang sama juga dipesan
oleh seorang perupa yang biasa membuat lukisan dengan figur gendut-gendut.
Tak Paham Teknis
Ketika memesan,
para perupa tersebut, baik yang ke studio Ichwan maupun Sumbul, memiliki titik
awal berbeda. Ada yang dari rumah telah membawa model, misalnya, perupa yang memesan
relief alumunium pada Ichwan. Kebanyakan pemesan telah membuat sketsa awal,
tentu saja mereka tidak membawa gambar kerja karena tidak memahami struktur
patung. Sketsa dapat diserahkan langsung atau lewat email. Ada juga perupa yang
hanya bermodalkan imajinasi atau angan-angan, lalu meminta Ichwan maupun Sumbul
mewujudkannya.
Kadang tradisi
dua dimensional pemesan masih melekat, karena yang datang rata-rata pelukis.
Misalnya ada perupa yang ke Sumbul minta dibuatkan patung perahu mengangkut
sebuah koin uang besar. Perupa tersebut dalam membayangkan bentuknya sangat khas
dua dimensional, yaitu perahu dari samping dengan lingkaran koin di atasnya.
Tentu saja kalau dijadikan patung—yang dapat dilihat dari segala sudut
pandang—jika diamati dari depat hanya akan nampak perahu bertiang. Sumbul perlu
menerangkan langgam bahasa patung pada pemesannya.
Orang yang biasa
membuat karya dua dimensional kadang memang tidak paham konstruksi patung. Seni
patung sangat tergantung pada grafitasi bumi. Jika seorang pelukis dapat
semaunya menggambar orang melayang-layang di udara, pematung akan setengah mati
mewujudkannya. Ichwan atau Sumbul mesti menerangkan hal-hal demikian.
Pesanan Berbingkai
Pengalaman
Ichwan Noor sebagai pematung menjadi daya tarik dan merupakan jaminan kualitas.
Ichwan telah dua kali pameran tunggal, kini ia juga mengajar seni patung di ISI
Yogyakarta. Para pemesan tidak sayang mengeluarkan dana yang lumayan besar
untuk memesan karya. Bukankan pedagang yang menginginkan laba besar juga mesti
mengeluarkan modal yang besar. Sebuah patung kursi globe bisa mencapai harga di
atas seratus juta rupiah. Toh perupa tersebut dapat menjualnya berkali-kali
lipat.
Uniknya, meski status
perupa tadi memesan patung pada Ichwan, namun sesungguhnya Ichwan tidak secara
langsung mengerjakan pesanan tersebut. Ia memiliki asisten-asisten yang siap
menjalankan tugas. Paling jauh Ichwan hanya membuat maket, itu pun untuk karya
yang rumit. Tugas utamanya adalah menerima order dan memberi penyelesaian jika
asistennya mengalami kesulitan teknis. Untuk memperlancar koordinasi, Ichwan
Noor mengangkat seorang manager yang juga bertugas membuat gambar kerja. Staf
di bawahnya dibagi dalam divisi modeling, fiber, logam, pengelasan, pengecatan,
dan kayu untuk packing. Masing-masing staf dipimpin oleh seorang koordinator.
Koordinator diberi tanggungjawab penuh untuk mengelola pekerja di bawahnya.
Beda Ichwan beda
Sumbul. Jika Ichwan mesti memilih karyawan yang telah berpengalaman dan
disiplin, Sumbul tidak membutuhkan karyawan ahli. Orang yang belum pernah
bersentuhan dengan patung pun bisa diterima. Syarat untuk membantu Sumbul cukup
sederhana, yaitu: tidak lumpuh. Sumbul siap mengajari dalam waktu satu atau dua
hari, toh katanya, “Semua dapat dilihat.” Malah kalau ia dibantu pematung
berpengalaman, apalagi lulusan akademi, akan susah diarahkan karena telah
memiliki idealisme kesenimanan.
Sistem
asistensi, baik dalam studio Ichwan maupun Sumbul, membuat keduanya—yang nota
bene juga seorang artis—merasa tidak risau dengan kontroversi artisan. Walaupun
Ichwan mesti “jual harga diri” (istilah ini darinya) ia tetap dapat berkilah,
“Bukankah yang mengerjakan patung itu bukan aku, tapi karyawan-karyawanku.” []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar