NERAKA VERSI BUDDHA, TAMAN PATUNG SERAM WANG SAEN SUK

 NERAKA VERSI BUDDHA, TAMAN PATUNG SERAM WANG SAEN SUK

Oleh: Deni Junaedi

 

Serem buanget... Patung-patung ini ditusuk-tusuk, digodog, digergaji, dan berbagai jenis penyiksaan lain. 

Masuk taman horor ini gratis, tidak bayar, tapi siap-siap tahan napas, kita akan menjelajahi neraka, nereka dalam peradaban Buddha... kita akan menelusuri taman patung Wang Saen Suk Thailand. 

Sebenarnya visualisasi neraka sudah lama dikenal penduduk Nusantara, ada di juga candi-candi Budha. Nanti menjelang akhir video kita akan melihatnya juga.

Di Thailand, negara yang pernah saya hadiri dalam rangka workshop seni lukis cat air, tidak hanya ada satu taman neraka, tetapi Wang Saen Suk paling populer. 

Agak susah mencapai tempat ini jika tidak menggunakan Google Maps, mesti melewati perkampungan. Kota Bang Saen, propinsi Chonburi, tempat bersemayam “Thailand Hell Horror Park" atau “Taman Horor Neraka Thailand” ini terletak kira-kira 90 km dari Bangkok. 

Dari luar lokasi, patung-patung penyiksaan itu belum tampak. Di tempat parkir kita baru bertemu patung Budha Tertawa ukuran besar dengan warna mencolok. 

Suasana di parkiran mirip Indonesia. Gerobak kaki lima berdesakan menunggu rezeki, dagangannya digantung pating cranthel tidak rapi. Warung-warung ini langsung berdekatan dengan mobil-mobil terparkir, bedanya, di Indonesia kebanyakan mobil MPV, di Thailand mayoritas keluarga memanfaatkan mobil pick up, lebih besar dan ada bak di belakang. 

Saatnya masuk ke gerbang Wang Saen Suk. 

Ini bukan berarti kita langsung nyemplung ke neraka, tetapi berjumpa dulu kisah Siddhartha Gautama Sang Pendiri Agama Buddha. Semuanya dituturkan lewat patung, lengkap sejak kelahiran hingga mencapai gelar Buddha Gautama. 

Siddharta adalah anak Raja Suddhodana. Konon, begitu lahir ia sudah dapat berdiri. Dalam persalinan, ibunya tidak perlu berpose layaknya ibu babaran, tetapi Sang Ibu, Ratu Maha Maya, berdiri memegang dahan pohon sala. Pada adegan ini, anatomi bayi Sidddhartha tidak dibuat secara tepat, bukan bentuk bayi tetapi orang dewasa yang pendek. 

Episode selanjutnya adalah ketika Pangeran Siddhartha diramalkan akan menjadi pertapa, sehingga Raja cemas karena apabila ia menjadi Buddha, tidak ada pewaris tahta kerajaannya. Raja menjaga agar Siddhartha tidak melihat “Empat Kondisi" yang dapat memantiknya menjadi pertapa, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati, dan pertapa. 

Tetapi, suatu ketika ia melihanya juga, dan ini menjadi satu diorama tersendiri. Singkat kata ia memutuskan menjadi pertapa, meninggalkan kehidupan duniawi kerajaan. Keputusan ini ia tandai dengan memotong rambut panjangnya. 

Detail kisah bagian ini tentu panjang kalau diceritakan, nanti malah tidak jadi melihat neraka. 

Patung-patung lain ada di kanan kiri jalan, ada juga yang di tengah-tengah. Seluruh bentuk patung di taman ini tidak dibuat dengan akurasi realistik idealistik sebagaimana patung Klasik Yunani Romawi, bukan juga realistik impresionistik seperti patung The Thinker Auguste Rodin, juga bukan patung dekoratif seperti buatan seniman Suku Maya. 

Sebelum penyiksaan, ada tempat pembanding amal  baik dan amal buruk. Orang yang baru mati dirantai dan mesti menghadap Raja Kematian Phya Yom. Setelah membandingkan perbuatan baik yang tertulis di piring emas dengan perbuatan buruk yang tercantum di secarik kulit anjing, Phya Yom akan memutuskan apakah orang tadi masuk neraka atau lolos dari siksa. 

Ini mengingatkan pada konsep yaumul hisab atau hari penimbangan dalam Islam, saya pernah membahasnya, setelah mengikuti video ini rekan-rekan saya undang untuk menghadirinya, link ada di deskripsi atau di pojok kanan atas ini. 

Kembali ke Wang Saen Suk, patung-patung di sana dibuat dengan semen ala kadarnya. Yang penting tampak ada tangan ada kaki. Tidak peduli rincian otot-otonya seperti apa. Visual patung di sana layaknya properti yang akan diarak di karnaval 17-an, buatan siswa sekolah pada umumnya. Tetapi kesederhanaan bentuk inilah yang justru membuat fleksibel ketika figur-figur itu akan dideformasi di taman neraka, sebagaimana sebentar lagi kita saksikan. 

"Selamat Datang di Neraka," demikian tulisana sapaan yang tertera ketika akan memasuki wilayah neraka. 

Di Indonesia, kabar tentang neraka dari agama Buddha kurang populer. Namun, istilah neraka justru dari agama Buddha, atau paling tidak dari bahasa Sansekerta, yaitu naraka. Dalam bahasa Inggris disebut hell, dalam bahasa Arab naar yang berarti api. Dari bunyinya, mungkin secara etimologis ada hubungan antara naar - naraka - dan neraka. 

Siksaan terdekat yang ditemui wisatawan wang saen suk adalah wajan penggorengan, bukan untuk menggoreng mendoan tetapi manusia-manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Bahan bakarnya adalah batangan kayu-kayu besar. 

Ada empat orang kesakitan di cairan panasnya, bahkan ada yang nyaris jatuh, sementara itu seorang yang lain sedang diangkat penjaga neraka. Orang ini siap-siap dilempar, dicemplungkan. Sementara itu penjaga neraka yang bersenjata tombak siap memasukkan ulang siapapun yang keluar dari wajan. 

Namun demikian, patung paling menonjol di sisi siksa wajan ini adalah sepasang raksasa, dijuluki Nai Ngean dan Nang Thong. 

Mereka mendapatkan siksaan rasa lapar. Saking laparnya hingga kurus kering, perutnya buncit, dan mata melotot. Ia susah makan, bagaimana mau makan lha wong lidahnya terjuntai panjang. Lehernya yang kecil juga tak mampu dilewati makanan signifikan. Besar tubuhnya justru menambah rasa lapar. Sosok nggegirisi ini juga dikenal sebagai hantu lapar, nama lainnya preta. 

Seperti patung-patung lain di taman itu, visual raksasa ini tidak terbedakan karakternya. Bentuk iga yang menonjol pada bagian perut untuk menunjukkan kelaparan, sama dengan bentuk draperi celana. 

Mereka disiksa karena melanggar Pancasila Buddha dalam Tripitaka, yaitu lima larangan, dilarang: membunuh makhluk hidup, mencuri, berzina, berbohong, dan mabuk-mabukan. 

Di sekeliling Nai Ngean dan Nang Thong ada figur-figur unik. Manusia-manusia berkepala binatang. Di bawah tiap-tiap patung ada caption yang menerangkan kesalahan masing-masing. 

Salah satu plakat berbunyi, "Koruptor dihukum di neraka, mereka disebut sebagai arwah babi." Representasi patungnya adalah manusia berkepala babi. Beda dengan karikatur umum yang menggambarkan koruptor sebagai tikus. Tapi kalau dimat-matkan, tikus mirip babi hutan. 

Di kelompok ini juga ada manusia berkepala macan akibat tidak tahu berterima kasih, menjadi kelingi karena iri dengki, berkepala bebek kalau gemar menjadi provokator, kalau mencuri ikan akan berkepala ikan, sedangkan mencuri nasi berkepala burung. Hukuman roh sapi diganjar untuk penjual narkoba. 

Semakin masuk ke dalam semakin mengerikan. 

Ada orang yang lidahnya ditarik keluar dengan catut, lelaki yang digergaji perutnya, leher ditusuk tombak, empat manusia digantung dengan cara ditusuk kawat pipi tembus pipi, manusia digigit anjing hingga remuk kepalanya , manusia berkepala ayam yang beberapa detika lagi dibelah dadanya dengan kapak besar, dan ragam penyiksaan yang bersaing kejam dengan inkuisisi Eropa. 

Adegan yang terhitung menonjol adalah laki-laki dan perempuan yang memanjat pohon berduri. Duri itu tentu saja sudah membuat tubuh-tubuh telanjang itu berlumuran darah. Tetapi derita tidak hanya sampai di sini, jika sampai turun, gigi tajam anjing liar siap menembus daging, namun jika memanjat, burung gagak siap nothol moto, memanggut sepasang mata bola. Di seputaran pohon, pejaga garang siap dengan tombak, berani turun, tusuk. 

Di samping diorama ini terdapat keterangan,

“Orang yang melanggar sila ketiga dari Pancasila, yaitu berzina dengan istri atau suami orang lain, akan ditimpa siksa seperti dalam adegan ini.”  

Adegan lain menggambarkan seorang wanita yang ditujsuk tombak pada jantungnya, ini karena kesalahan membunuh suami sendiri. 

Aborsi juga mendapat siksa yang berat, luar biasa menekan tepatnya. Perlahan. Dua penjaga neraka akan menghimpit dengan alat yang dapat diputar untuk mengencangkan himpitan di bagian perut. Tempat sang janin diaborsi. Wanita itu akan hancur secara perlahan. Sakit fisik, sakit mental.

Disebelahnya, seorang pemerkosa dirantai pada tiang dan ditusuk trisula ke alat kelaminnya. 

Adapun pecandu alkohol akan dituag minyak mendidih ke tenggorokan. 

Patung-patung di sini umumnya seukuran manusia asli, lifesize. Postur tubuh penghuni neraka dan penjaganya nyaris sama. Tidak ada kelebihan fisik pada penjaga neraka, tangannya hanya dua, bukan enam; kepalanya hanya satu, bukan empat, dan tanpa sayap di punggung. 

Hal yang membedakan hanyalah penghuni neraka berkulit putih penjaganya berwarna kecoklatan. Perbedaan lain adalah, tidak seperti pendosa yang telanjang, penjaga bercelana dan berikat kepala merah. Pendosa wanita yang di wajan penggorengan menggunakan cawat, mungkin ini bukan jenis etika berpakaian di neraka, tetapi etika pematungnya yang merasa tidak enak jika figurnya terlalu polos saat posenya terlalu menantang. 

Bagian kelamin patung-patung ini tidak dibuat detail, tidak seperti patung Michalenggelo zaman Renaisans. Rupanya seniman pembuat taman neraka ini tidak ingin pengunjung gagal fokus. 

Ada satu siksaan yang unik. Seseorang tidak memiliki kepala, mukanya pindah di dada. Ini mengingatkan saya pada Blemmyes. Hantu Afrika yang ditakutkan penjelajah samudra. 

Kendati super seram penuh adegan kekejaman, taman wisata ini banyak dikunjungi wisatawan keluarga. Mungkin ini justru kesempatan emas untuk membisikkan sesuatu pada anak yang mulai nakal. 

Tidak semua yang dibuat di sini diangankan ada di neraka. Kotak amal tentu bukan bagian dari properti neraka. Memasuki Wang Saen Suk memang gratis, namun nyaris di setiap adegan terdapat kotak amal. Di bawah raksasa Nai Ngean maupun Nang Thong juga ada, berdiri kokoh. Warnanya biru putih. 

Kotak amal yang sangat banyak itu masih ditambah celengan amal yang lain. Anjing yang menggigit pendosa tadi, perutnya juga siap dimasuki mata uang Bāht. 

Kotak amal itu lengkap dengan berbagai petuah. Salah satunya berbunyi, “Siapa yang lahir di tahun babi harus mengusir roh jahat dengan menyumbangkan satu Baht per usia.” 

Di kotak sumbangan lain tertera, “Orang yang memberi sedekah dan memberi jubah Kuning kepada Biksu Buddha, akan lahir pada periode Bodhisattaya.” Artinya tidak akan masuk neraka, tetapi memasuki tempat menyenangkan yang ada Pohon Kalapapluek. Pohon ini akan menghasilkan apapun yang diinginkan penghuninya. Dan setelah menyusuri neraka, di bagian akhir ada adegan orang-orang bergembira di bawah pohon ini. 

Taman ini dipenuhi pohon perindang jalan, agar wisatawan tidak kepanasan, bukan dari api neraka tetapi dari sinar matahari. 

Taman ini mengingatkan saya pada komik neraka yang dulu saya lihat saat Sekolah Dasar. Tentu rekan-rekan sepantaran mengetahuinya. Komik itu diawali dengan kisah Isra' Mi'raj, maka sering disebut-sebut sebagai komik Islam. 

Akan tetapi, Kyai Shiddiq Al-Jawi, pakar usul fikih, melarang pembuatan karya seperti ini, paling tidak karena dua hal. Pertama, larangan penggambaran makhluk bernyawa. Kedua, larangan melukis hal gaib karena manusia tidak mampu menjangkaunya. 

Contoh, seseorang tidak akan sanggup melukiskan api neraka yang jauh lebih panas ketimbang api dunia. Sebagaimana hadis yang disampaikan Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Api yang kalian nyalakan di dunia ini adalah hanya satu bagian dari tujuh puluh bagian panasnya api neraka jahannam." 

Sementara itu, lewat teks Al-Qur'an menggambarkan keganasan neraka. Salah satunya dalam surat An-Nisa ayat 56, "Allah SWT berfirman; “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak Kami akan memasukkan mereka ke dalam neraka, setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab.” Tentang Al-Qur'an sebagai sumber informasi hal gaib saya bahas dalam video berikut ini. 

Oh ya rekan-rekan, membahas karya seni bertema neraka mengasyikkan sekaligus menegangkan. Di peradaban Kristinani ada lukisan Renaisans terkenal karya Botticelli, The Divine Comedy, sebagai ilustrasi karya sastra buatan Dante. Kepanjangan kalau dibahas sekarang, bagusnya jadi konten tersendiri. 

Bahkan saya juga punya buku yang menceritakan tentang neraka dalam sudut pandang China tradisional. 

Sebagaimana saya sampaikan di muka, penduduk Nusantara telah mengenal visual neraka dari budaya Buddha. 

Relief di kaki Candi Borobudur menggambarkannya. Manusia-manusia digodok dalam wajan panas. 

Siksa Neraka juga muncul di relief Candi Jago Jawa Timur. 

Sepertinya video ini sudah kepanjangan rekan-rekan. Terima kasih sudah menemani saya berkisah seni. Rekan-rekan bersama saya, Deni Je, Konten Kreator PAINTING EXPLORER Channel.

Welcome to PAINTING EXPLORER Channel.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar