HISTORIOGRAFI: TULANG PUNGGUNG SENI RUPA
(Pengukuhan Agus
Burhan sebagai Profesor)
Oleh: Deni Junaedi
(PDF majalah ada di bagian akhir)
Jika penulisan sejarah seni rupa Indonesia masih lemah, jangan harap melahirkan museum yang kuat. Persepsi seperti ini terbangkitkan ketika mengikuti pidato
dalam Sidang Senat Terbuka Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. M. Agus Burhan,
M.Hum tanggal 24 Februari 2016.
Persoalan museum bukan satu-satunya hal yang muncul dari kelemahan penulisan sejarah atau historiografi. Banjir lukisan palsu juga dapat menjadi efek buruk berikutnya. Celakanya, bagaimana jika jumlah sejarawan Indonesia sangat sedikit dan akademisi yang berminat pada bidang ini amat langka?
Di atas mimbar Concern Hall ISI Yogyakarta, pria
kelahiran Rembang 8
April 1960 ini menyampaikan ceramah
dengan judul “Sejarah Seni Lukis Modern
Indonesia: Historiografi dan Fungsinya”. Kendati menggunakan frasa ‘seni
lukis’, tentu saja, akademisi yang mendapat gelar Doktor dari UGM ini menyinggung
jenis karya lain - seperti seni instalasi dan performance art - ketika memperbincangkan Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB)
maupun seni kontemporer.
Ketika Galeri bertandang ke rumahnya yang penuh
lukisan untuk mengkonfirmasi judul itu, Burhan menyatakan, “Pokok persoalan sebenarnya adalah,
saya ingin menerangjelaskan sejarah seni lukis modern Indonesia.” Selain itu,
latar belakang S1 yang ia tempuh di Seni Lukis ISI Yogyakarta juga menjadi
pertimbangan.
Museum, Urgensi Historiografi
Di hadapan Senat maupun hadirin yang memenuhi tempat
duduk, Burhan menyampaikan urgensi penulisan sejarah seni rupa terhadap
keberadaan museum, “Sejarah seni menjadi penopang utama keberadaan museum.
Apabila penulisan sejarah seni lukis dan seni rupa modern Indonesia masih
sangat kurang, tentu kelangkaan itu bisa berakibat pada ketimpangan rujukan
dalam praktik museologi.”
Kedekatan
sejarah seni dengan museum tidak terbantahkan. Bahkan, kata ‘museografi’
merupakan istilah lain untuk ‘sejarah seni’. Museografi ini pada gilirannya
melahirkan praktik museologi. Dengan kata lain, historiografi terkait erat dan
relevan dengan keberadaan museum.
Keterkaitan antara pencatatan sejarah dengan museum ia ungkapkan dalam tiga
fungsi historiografi berikut ini.
Pertama, untuk
membangun kesadaran genetis makna identitas tentang proses keindonesiaan
melalui seni rupa modern. Dalam setiap periode ungkapan bentuk-bentuk visual
merefleksikan paradigma estetik dari fakta-fakta sosiokultural dan jiwa zaman.
Kedua, untuk
keperluan didaktis, meneruskan tradisi, nilai-nilai, dan pengetahuan
antargenerasi. Juga sebagai acuan dunia akademik maupun praktik wacana untuk
mengkonstruksikan seni rupa modern Indonesia.
Ketiga,
untuk keperluan pragmatis yang khusus, yaitu melegitimasi pencapaian para
seniman, patron seni, dan lembaga sosiokultural. Dalam kerangka pragmatis yang
besar berfungsi untuk menjelaskan pengaruh dan keberpihakan politik pada dunia
seni. Sejarah seni juga berfungsi untuk melakukan daya tawar ideologi dan
identitas pada dunia internasional.
Ketiganya melandasi simpulan Burhan, “Fungsi-fungsi
tersebut menjadi aktual dalam kebutuhan yang mendesak dan khusus, yaitu aspek
historiografi yang bisa menangani berbagai masalah museologi.”
Lukisan Palsu, Efek Lain
Problem lebih dekat dalam kepentingan praktis yang
berkaitan dengan museologi, yaitu ketika historiografi seni rupa lemah dan
kekurangan evidensi ilmiah sejarah seni, adalah praktik lukisan dan seni rupa
palsu yang merebak. Problem ini tengah melanda dunia seni rupa Indonesia.
Ini bukan berarti Burhan menaruh semua persoalan lukisan
palsu ke pundak sejarawan. Ia meminjam rumusan George
L. Stout untuk melihatnya. Konservator
seni rupa Amerika itu
menggunakan metafor ‘kursi berkaki tiga’ untuk mengatasinya. Kaki pertama ada di sejarah seni
rupa yang menyangkut keahlian seni (connoisseurship
in art); kaki kedua terletak pada praktik restorasi dan konservasi yang
menyangkut pembuktian kepemilikan dan asal muasal (povenance); kaki ketiga untuk sains yang menjelaskan struktur
material yang dipakai.
Sejarah yang disusun berdasarkan karya seni yang
terindikasi palsu tentu berdapak pada validitasnya. “Oleh karena itu,” Burhan
mengusulkan, “perlu tersedia ahli sejarah seni rupa
dan historiografi dengan kepakaran
khusus pada seniman tertentu. Di Indonesia misalnya, perlu ada ahli tentang Raden
Saleh, Sudjojono, Affandi, Hendra Gunawan, atau seniman lainnya.”
Kelangkaan Sejarawan, Kegelisahan Burhan
Kendati urgensi historiografi tidak terelakkan, tapi
tidak banyak pewacana seni rupa yang berminat menggarapnya. Di sisi lain,
perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia tengah melesat pesat dan terhubung
dengan jaringan internasional. Dengan demikian, penulisan sejarah dan praktek
seni di Indonesia semakin tidak berimbang.
Burhan menyampaikan kegundahannya, “Pertanyaan yang
menggelisahkan adalah apakah dalam waktu yang singkat kekurangan ahli sejarah
seni rupa ataupun ahli pengkajian seni yang lain dapat mengimbangi perkembangan
seni rupa kontemporer Indonesia yang sangat pesat. Apabila masalah ini tidak
teratasi maka akan timpang perkembangan dunia seni rupa Indonesia.”
Profesor yang juga pengajar di Program Pascasarjana UGM ini
tidak menutup mata, “Memang ada beberapa penulisan sejarah, tetapi
perkembangannya berjalan dengan lambat.”
Ia menyodorkan contoh penulisan sejarah seni rupa. Gerard
Brom menyusun
Java in Onze Kunst (1913); Loos Haxman menulis Verlaat Rapport Indie (1968); Claire Holt meluncurkan Art in Indonesia:
Continuities and Change (1967); Sudarmadji membuat Persagi sebagai Pelopor
Kebangunan Seni Rupa Indonesia Modern
(1968); Jim
Supangkat menyusun
Indonesian Modern Art and
Beyond (1997); dan
segelintir lainnya.
Sebagai sejarawan, Burhan sendiri telah menulis puluhan
artikel jurnal, makalah seminar, maupun buku tentang sejarah seni rupa
Indonesia. Dua bukunya yang terkenal adalah Perkembangan Seni Lukis Mooi Indie sampai Persagi
di Batavia dan Seni
Lukis Indonesia, Masa Jepang sampai Lekra.
Burhan mengomentari kelangkaan
sejarawan ini, “Alasan ‘kemalasan’ menjadi
kambing hitam.”
Paradigma
Estetis, Sumbangan Sang Profesor
Sebagai seorang profesor tentu
saja Burhan memiliki teori. Persoalan museum maupun lukisan palsu di atas
bukanlah inti dari teorinya. Sumbangan keilmuan yang ia haturkan pada
masyarakan seni rupa adalah bagaimana semestinya sejarah seni lukis Indonesia
ditulis.
Ia menolak periodisasi sejarah
seni rupa yang sekedar berdasarkan periode pemerintahan, misalnya: periode Belanda,
Jepang, Orde Lama, Orde Baru, lalu Reformasi. Peneliti yang lulus Magister
Humaniora Program Studi Sejarah UGM ini lebih memilih paradigma estetis sebagai
tolok ukur penulisan sejarah seni lukis Indonesia. Dengan paradigma estetis
berarti ia menelisik nilai-nilai estetis spesifik yang diterakan untuk
peciptaan karya seni pada periode tertentu.
Dalam pandangannya, “Perkembangan
seni lukis dan seni rupa modern Indonesia lebih tepat untuk dikonstruksikan
sebagai perkembangan seni visual yang merepresentasikan pergulatan faham-faham
pemikiran, sesuai dengan perubahan sosiokultural yang bergulir. Dengan kata
lain, sejarah harus disusun atas dasar perubahan paradigma estetik yang tumbuh
dari konteks perubahan zamannya sendiri.”
Maka, Burhan menyusunnya. Akhir abad ke-19, sebagai masa perintisan seni
lukis modern Indonesia, Raden Saleh ditempatkan sebagai tokoh utama. Selanjutnya
pada awal abad ke-20, berkembang seni lukis Mooi
Indie, yang diwarnai karya-karya romantisisme tentang alam yang indah dan
kehidupan eksotis Hindia Belanda. Paradigma estetis itu dipengaruhi ikatan
zaman dan kebudayaan kolonial feodal yang memuja konvensi keharmonisan dan
nilai ideal. Pada tahun 1938-an sampai akhir Orde Lama berkembang periode seni
lukis dengan paradigma kontekstualisme kerakyatan Persagi sampai Lekra.
Penolakan pada romantisisme Mooi Indie
melahirkan pandangan estetis yang meyakini tentang realitas. Pertumbuhan ini
sangat dipengaruhi oleh perubahan sosial yang didorong oleh berbagai konteks
sosial politik;
seni lukis merepresentasikan realitas kehidupan
rakyat. Kemudian pada masa Orde Baru, muncul paradigma estetik humanisme
universal yang menekankan pada jiwa murni dan kebebasan berekspresi. Bentuk
keberagaman individual yang liris melahirkan seni lukis dengan berbagai gaya
dan corak sifat yang intuitif, di antaranya gaya abstrak menjadi dominan. Mulai
tahun 1979, muncul Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) dan seni rupa kontemporer yang
bersifat plural dalam paradigma estetik maupun dalam bentuk visual karya seninya.
Perubahan konsep seni rupa baru ini meleburkan batas-batas seni murni, seni
tinggi dan seni rendah, serta pengungkapan dalam bentuk-bentuk visual baru
tanpa batas.
Bantaran Sungai Silugonggo
Pada ucapan terima kasih dalam pidatonya, ada satu nama istimewa
yang tidak bakal dilupakan Burhan, Ahmad Baedowi. Ia adalah guru Burhan kecil ketika sekolah di SMP
Negeri Juana.
“Beliau yang pertama kali membangkitkan jiwa seni dari
sanubari saya,” kenangnya. Burhan sangat terkesan ketika diajak melukis langsung
ke bantaran Sungai Siligonggo. Karyanya menjadi perhatian siswa lain. Selain
itu, Pak Guru Baedowi juga menunjukkan buku Lukisan-lukisan Koleksi Dr.
(HC), Ir. Sukarno, Presiden Republik Indonesia. Burhan langsung jatuh cinta
pada dunia seni lukis.
Tokoh lain yang tidak dapat lepas dari karir Burhan
adalah M. Hadi Projo Susastro. Bahkan, ketika membaca nama ini, suara Burhan
tertahan berat. Tokoh ini tidak lain adalah ayahnya. Sebagai Penilik Sekolah
dan Ketua PNI, Susastro biasa mengonsumsi Kompas, Tempo, maupun Suara
Karya. Burhan pun mengenal rubrik seni rupa darinya.
Kendati kini telah renta, Susastro dapat menghadiri
perhelatan akademis anaknya yang diiringi belasan pemain musik klasik dan
gamelan. Sang Ayah yang duduk di samping menantunya, Umi Hartati, tidak dapat
menahan tangis ketika surat pengukuhan dibacakan. Ia patut bangga, kini anaknya
tidak hanya menyandang gelar Guru Besar, tetapi juga Rektor perguruan tinggi
terbesar di Indonesia. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar