MERUPA SAMBIL MENELITI
Oleh: Deni Junaedi
Pernah dimuat di Majalah Galeri Media Komunikasi Galeri Nasional Indonesia No. 13, 60-64
(PDF terlampir)
“Jika kamu telah
memahami karyaku,” kata Salvador Dali, “aku akan kembali membuatmu dalam
ketidakpastian.” Ungkapan perupa Surealisme itu mengindikasikan bahwa karya
seni mesti terus-menerus menghadirkan misteri. Rupanya cara serupa itu juga
digunakan seniman besar lain. Max Ernst, pionir gerakan Dada, menyatakan,
“Ketika seniman telah menemukan dirinya, berarti dia telah hilang.” Paling
tidak Pablo Picasso, maestro Kubisme, menyeru, “Saat menggambar, kamu mesti
memejamkan mata dan bernyayi!”
Kondisi yang memupuk teka-teki seperti itu berlawanan dengan semangat penelitian ilmiah. Kata kunci untuk penelitian, sebagaiaman disampaikan Sosiolog Max Webber dan diikuti jutaan peneliti lainnya, adalah pemahaman atau verstehen. Istilah Jerman ini berarti proses pemaknaan secara sistematis untuk memahami hal yang diteliti.
Lalu bagaimana jika
dua bidang itu digabungkan – menciptakan karya seni sekaligus meneliti – tentu tegangan
yang muncul akan menarik untuk dicermati. Sebenarnya cara kerja seperti itu
telah lama dilakukan, yaitu di lingkungan perguruan tinggi seni, khususnya
dalam Tugas Akhir. Namun demikian, isu ini menguat ketika terjadi pemindahan Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) ke Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek).
Keluasan Aspek Penelitian Seni
Tidak hanya oleh
seniman, konsep aktivitas seni di bawah ‘ketidakjelasan’ juga didukung oleh
filsuf Gilles Deleuze dan Félix Guattary. Menurut mereka, kerja seniman ada
dalam chaos: menembus payung
ketertataan atau order. Sementara
itu, para komentator hanyalah penambal payung yang telah dirobek seniman.
Keremangan karya seni
semakin diperkuat oleh kepercayaan masyarakat tentang de gustibus non est disputandum. Adagium Latin ini
berarti ‘soal selera tidak dapat diperdebatkan’.
Akan tetapi, misteri
atau enigma seperti apa yang ada dalam karya seni? Benarkah misteri dalam karya
seni tidak dapat dijelaskan lewat argumentasi akademis?
Upaya menjelaskan atau meneliti karya seni telah dilakukan berbagai pakar. Perangkatnya
juga telah dipersiapkan, seperti buku metodologi penelitian seni. Pustaka
tentang ini, antara lain, adalah Method
Meets Art tulisan Patricia Leavy atau Art and
Research: Can Artists be Researchers? oleh editor Janet Ritterman,
dkk. Buku-buku estetika juga banyak diluncurkan, sehingga
ungkapan bahwa selera tidak dapat diperdebatkan menjadi tidak dapat diterima
begitu saja.
Namun
demikian, dunia seni terkait dengan persoalan yang sangat luas. Keberadaan
karya seni tidak terlepas dari: alat dan bahan untuk penciptaan, proses kreatif
saat penciptaan, kebentukan baik komposisi unsur visual maupun teknik yang
ditampilkan, makna yang disampaikan bentuk tersebut, manajemen pengelolaan
karya seni, hubungan karya seni dengan masyarakat, maupun aspek-aspek lainnnya.
Maka penelitian karya seni dapat didekati dari perspektif kimia, estetika,
filsafat, psikologi, sosiologi, antropologi, ekonomi, politik, agama, maupun
kajian yang lain. Persoalannya adalah: apakah Kemenristek akan lebih efektif
dibandingkan Kemendikbud dalam menangani persoalan-persoalan ini?
Tegangan di Kampus Seni
Pemindahan
kementerian tersebut diangkat sebagai tema Dies Natalis XXXI ISI Yogyakarta 2015: ‘Implementasi
Seni Berbasis Riset dan Teknologi’. Judul ini tentu saja
akan menghadirkan persepsi tentang suatu karya seni yang keberadannya berasal
dari riset dan dibuat dengan bantuan teknologi. Benarkah acara ini dapat
menyajikan hal itu?
Salah
satu agenda dies tersebut adalah Seminar Sehari yang diselenggarakan tanggal 1 Juni 2015. Anies Baswedar mengawali forum ilmiah itu sebagai Keynote Speaker. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu menyampaikan, “Seniman dapat membuat
teknologi lebih manusiawi.” Ia juga menyatakan, “Teknologi yang bertemu dengan kreativitas
akan menghasilkan kekuatan yang luar biasa.” Kemudian dalam wawancara saat coffee break Anies menegaskan, “Teknologi tidak hanya gadget, gamelan juga teknologi.”
Tentu saja
teknologi dapat berupa hal yang sederhana hingga kompleks, dari gerobak hingga
pesawat ulang-alik. Akan tetapi, kata teknologi hampir selalu dipersepsi
sebagai sarana dengan kecanggihan mutakhir. Dulu ikon teknologi adalah arloji,
sehingga otak manusia disepadankan dengannya, kini ia diganti komputer. Jika
semua dipandang sebagai teknologi – gamelan, gitar, kuas, tatah, dan sejenisnya
– maka tema tadi menjadi tidak spesial karena dari dulu karya seni telah
menggunakan teknologi. Rupanya Anies tidak menggunakan pemahaman bahwa
teknologi dapat berupa apa saja ketika mengatakan, “Seniman perlu melek
teknologi.”
Sementara itu,
Rektor ISI Yogyakarta ketika ditemui GALERI
menyatakan bahwa, “Pemidahan kementrian itu diharapkan dapat mendorong
pendidikan tinggi terhadap relevansi yang lebih kuat dalam pembangunan bangsa.”
Agus Burhan mencontohkan keberhasilan pemerintahan Korea dalam ekspor seni
modern dan kontemporer, yang tentu saja tidak dapat dilepaskan dari peran perguruan tinggi.
Percikan-percikan
konsep di atas rasanya belum secara langsung, atau malah belum dapat, merumuskan
bagaimana cara mengimplementasikan seni yang berbasis riset dan teknologi. Konsep
pengimplementasian tersebut justru terasa semakin jauh ketika mengikuti pemaparan
narasumber seminar, baik oleh Musikolog Sarah Weiss, Antropolog Irwan Abdulah,
maupun Dosen Desain Sumartono.
Menengok Implementasi pada Pameran
Dalam
pameran seni rupa, tema besar ulang tahun ke-31 ISI Yogyakarta itu diejawantahkan dalam subtema ‘Menjelajah Teknik Menganyam Gagasan’. Frasa
itu berarti penjelajahan teknik dan penganyaman gagasan dalam
pengimplementasian seni yang berbasis riset dan teknologi. Apakah cita-cita itu
telah terwujud? Kita perlu menengok puluhan karya di Galeri R.J. Katamsi dari
tanggal 30 Mei hingga 14 Juni 2014.
Secara
umum pameran ini menampilkan karya istimewa yang membanggakan. Berbeda dengan
pameran tahun lalu, dies natalis kali ini mengundang alumni yang telah teruji
di dunia seni rupa, seperti: Entang Wiharso, Putu ‘Liong’ Sutawijaya, Alfi, I
Made Widya Diputra “Lampung”, Anggara Tua Sitompul, Edo Pilu, Endang Lestari,
Ariswan Adhitama, Abdul Syukur, dan beberapa yang lain. Sementara itu karya
mahasiswa diseleksi secara ketat, baik dari Prodi Seni Murni, Kriya, DKV,
maupun Desain Interior.
Entang
menyuguhkan karya raksasa sekitar dua belas meter yang berupa relief tembus (a jour relief) berbagai adegan. Lampung
mengeluarkan objek unik yang berupa seseorang pendorong troli yang berisi
bentuk aneh mirip binatang. Ariswan memamerkan cukil kayu hampir tiga meter.
Karya-karya mereka didisplay di lantai satu.
Sementara
itu di atasnya terdapat karya mahasiswa yang jumlahnya jauh lebih banyak. Bayu
Santosa menyajikan Animal, desain
yang memenangkan kontes sampul album Maroon 5. Putu Sastra Wibawa membuat Irama Alam, lukisan abstrak berpola
vertikal dengan warna-warna dingin namum dinamis. Usmanto menghadirkan (Goro-Goro) ning pitek, ranting kayu
jati yang disusun secara ritmis. Tim Acher yang terdiri dari delapan mahasiswa
mendesain maket Acher Cafe yang
menjanjikan keunikan jika diwujudkan.
Persoalannya, apakah karya-karya apik itu terwujud karena berbasis riset dan teknologi? Dalam pengertian umum jawabannya adalah ya; tetapi dalam pengertian riset ilmiah sebagaimana yang tercantum dalam buku Panduan Pelaksanaan Penelitian di Perguruan Tinggi Edisi IX rupanya belum. Pertanyaan sebelumnya, apakah karya-karya itu menjadi istimewa karena Dikti dipindah ke Kemenristek? Hampir pasti para mahasiswa, apalagi alumni, tidak sedang berfikir seperti itu ketika mengerjakan karya tersebut. Bahkan dalam katalog, Dewan Kurator yang terdiri dari Suwarno Wisetrotomo, I Gede Arya Sucitra, Hartoto Indra, Baskoro Suryo, dan Indro Baskoro tidak mengutak-atik hal itu. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar