PESAN KEKUASAAN LEWAT SENI RUPA

 

PESAN KEKUASAAN LEWAT SENI RUPA

Oleh: Deni Junaedi

 

 Pernah dimuat di Majalah Seni Rupa Visual Arts, November 2010, 42-44


            Saking leburnya, kadang peran seni rupa di dunia politik tak lagi disadari. Jika dicermati, sesungguhnya bayak pesan-pesan ideologis yang hanya efektif jika disampaikan lewat citraan visual. Contoh sederhana terlihat selama kampanye. Untuk menggaet massa, parpol menebarkan visual dengan berbagai sense, dari gambar yang mencitrakan watak seorang bapak yang mampu mengayomi, atau figur keibuan yang dekat dengan wong cilik, hingga seorang agamawan yang soleh. Tak hanya itu, logo-logo yang membawa ide tertentu dipilih yang paling mampu bercokol dalam benak masyarakat.

            Masih terekam di ingatan ketika Amerika melumpuhkan Irak dalam perang teluk jilid dua. Yang dilakukan pasukan Paman Sam pertama kali saat menerobos pusat kota Baghdad bukannya menangkap pegawai-pegawai pemerintah Irak atau membom kantor mereka, namun: merobohkan patung Saddam Husain. Mereka sadar bahwa patung itu adalah simbol kekuasaan politis Sadam. Karenanya tak boleh menunggu lama, saat itu juga, tanggal 9 April 2003, karya seni rupa itu mesti lenyap. Negeri yang gemar perang itu pun tak mau meninggalkan kekuatan visual yang mereka miliki, saat merobohkan patung raksasa itu mereka menutupi bagian wajah Sadam dengan stars and stripes, bendera Amerika. Kita memang sering lupa jika bendera termasuk bagian seni rupa.

            Kekuatan visual tak sekedar digunakan saat pemilu atau perebutan kekuasaan. Untuk melanggengkan kekuasaan, sang penguasa tak lupa memanfaatkan seni rupa. Raja menggunakan asesoris-asesoris visual yang dapat membedakan sekaligus meninggikan dirinya dari rakyat biasa. Mahkota dibuat segagah dan seanggun mungkin agar citra dirinya sebagai orang nomer satu terpancarkan. Konsep ini ditiru oleh tentara-tentara masa kini, mereka menempelkan berbagai lambang visual kepangkatan di sekujur seragamnya.

            Untuk menambah kewibawaan, seorang penguasa kadang membuat peraturan khusus tentang penggunaan visual. Sebagaimana yang terjadi di Kerajaan Mataram, saat itu Sultan Agung Hanyakrakusuma membuat motif batik Parang Rusak Barong yang khusus digunakan raja. Karenanya tidak aneh jika sekarang, dalam orientasi mahasiswa baru, para senior dengan angkuh menyuruh adik kelasnya mengenakan seragam hitam-putih, seragam formal bawahan. Yang boleh mengenakan jeans hanyalah para senior yang tengah berperan sebagai raja kampus.

            Tak dapat dilupakan, dalam istananya sang raja meninggikan kursi, mengukir dengan pahatan terhalus, melebarkan sandaran tangan seakan menjadi kebesaran tangannya sendiri, dan yang tak kalah penting adalah menjuluki kursi itu dengan istilah khusus, tahta, singgasana, atau Dampar Kencono. Cara seperti itu juga diterapakan dalam lingkungan akademis, saat senat mewisuda mahasiswanya, seakan berkata, “Hai Muridku, meskipun engkau telah diwisuda namun kedudukanmu tetap lebih rendah dariku, lihatlah, kursiku lebih tinggi, bajuku lebih besar, dan aku menggunakan kalung indah yang tidak kau punya.” Pola seperti itu juga ditiru hakim-hakim; untuk menjadikan dirinya berwibawa, tempat duduknya dibuat lebih bagus, lebih lebar, dan lebih tinggi ketimbang kursi terdakwa. Seni rupa kembali berperan.

 

Jejak Seni Rupa Politis

            Bahasa visual untuk meningkatkan wibawa kekuasaan telah berusia purba, bisa jadi setua budaya manusia. Nigel Spivey memaparkan hal itu secara apik dalam kemasan film berjuluk “The Art of Persuasion” (Seni Mempengaruhi) dalam seri How Art Made the Word. Di sana terungkap bahwa penggunaan visual sebagai alat politik telah ada sejak pembangunan monumen purba Stonehenge di Inggris. Jika mengacu pada buku A World History of Art karangan Hugh Honour dan John Fleming, berarti telah ada sejak tahun 2100 SM. Kalau begitu, seharusnya penggunaan seni rupa dalam kekuasaan telah ada jauh sebelum tahun tersebut, sebab arkeolog memperkirakan tahun 7000 SM telah ada peradaban di Mesir; sementara di sana nuansa budaya visual sangat kental terasa. Dan jika analisa Arysio Santos benar, mungkin sekali bahasa visual telah digunakan lebih lama lagi. Ia menyatakan bahwa benua Atlantis yang misterius itu justru ada di Indonesia, dan baru terendam air laut 11.600 tahun lalu karena letusan Gunung Krakatau. Geolog dan fisikawan nuklir dari Berasil itu juga menggunakan analisa visual untuk menarik tesisnya.

            Kembali ke masa Stonehenge. Dr Andrew Fitzpatrick, seorang arkeolog Wessex, berhasil menggali makam prasejarah terkaya di Eropa. Sebagaimana layaknya makam penguasa, dalam liang itu ditemukan berbagai benda indah, dari gelang hingga pelindung tangan. Yang istimewa, dalam kubur tua itu ditemukan benda kecil terbuat dari emas yang diperkirakan sebagai hiasan rambat. Ini barang baru, sebelumnya Eropa tidak mengenal emas. Diduga kuat benda itu digunakn sebagai alat politis untuk meningkatkan kewibawaan; di antara rakyat biasa yang mengenakan pakaian alami berwarna kusam, Raja yang datang dari Eropa Tengah itu tampil beda dengan emas berkilau di rambutnya. Segera setelahnya, para raja berlomba menempatkan kilauan emas di kostumnya.

            Perhiasan raja hanya berpengaruh pada orang-orang disekitar kerajaan. Problem selanjutnya akan muncul ketika sebuah kerajaan meliputi wilayah yang sangat luas. Hal ini yang dialami Darius Agung dari Persia. Penguasa Mediterania hingga India itu menemukan solusi: lewat revolusi visual. Ia menghiasi ibukotanya, Persepolis, dengan berbagai visual. Tidak hanya dari satu gaya, tapi kumpulan ragam rupa dari wilayah kekuasaannya. Sekali setahun Darius mengundang para duta. Wakil-wakil itu tersanjung ketika melihat langgam seni rupa dari wilayahnya digunakan di Istana kerajaan, mereka juga “tersihir” saat memperhatikan relief yang menggambarkan orang-orang tahlukkan tengah memberi persembahan. Figur-figur itu terukir mengenakan pakaian tradisional sebagaimana pakaian para duta, artinya, mereka juga mesti memberi persembahan kepada raja.

            Cara itu manjur untuk para duta, tapi bagaimana dengan jutaan rakyat yang tidak pernah ke istana. Sekali lagi Darius melakukan tindak visual. Di ketinggian tebing batu yang tegak berdiri di jalan utama menuju Persepolis, ia memahat iklan raksasa penuh aroma politis. Raja yang berkuasa tahun 522 hingga 486 SM itu digambarkan memegang busur panah. Semua rakyat Persia kala itu tahu, pemanah bukan sekedar gambaran perang, namun mencerminkan kebijaksanaan dan kepemimpinan, atau keseimbangan dan kendali. “Darius Sang Pemanah,” kata rakyat Persia dengan bangga. Kini para pemimpin parpol tak perlu susah-susah memahat tebing batu, mereka cukup pergi ke tukang print digital untuk mencetak ballyhoo, lalu tinggal pasang menggunakan bambu di pinggir jalan, tidak rapi tidak mengapa.

            Kepiawaain Darius tak berhenti di sini. Untuk mengembangkan citra ia membuat logo “Darius Sang Pemanah” lalu mencetaknya dalam ribuan koin uang. Otomatis alat tukar berlogo itu menyebarkan di tengah masyatrakat. Kini dunia dipenuhi logo parpol, banyaknya sejumlah parpol yang ada.

            Berbeda lagi dengan Alexander Agung dari Macedonia. Ia tidak puas jika hanya memakai logo. Penguasa yang mampu meluaskan imperiumnya di tiga benua itu memperkenalkan citraan visual realistik, potret politis. Pada rumah penduduk di Pompeii terungkap mozaik yang menggambarkan dirinya dengan ekspresi gagah berani menghadapi musuh-musuh imperium. Tanpa helm besi ia menerobos di tengah musuh, menghadapi raja lawan yang digambarkan loyo. Jika Darius meluncurkan koin berlogo, Alexander menerbitkan koin dengan potret dirinya. Digambarkan sebagai pemberani yang memiliki tatapan tajam. Dan kini, tak terhitung penguasa yang memajang potretnya dalam mata uang, termasuk — tentu saja — presiden Soeharto dalam lembar 50 ribuan.

 

Dukungan dan Penolakan Seniman

            Di sisi lain seniman juga menggunakan karyanya untuk mendukung atau mengkritik kekuasaan pemerintah. Dukungan terhadap pemerintah ditunjukkan oleh Jaques-Lois David lewat lukisan Oath oh the Horatii. Di tengah hangatnya suhu politik menjelang Revolusi Perancis, David memamerkan karya yang menceritakan sumpah setia tiga orang anak laki-laki Horatii dihadapan ayahnya untuk berperang melawan keluarga Curiatii, meski sebenarnya dua keluarga itu memiliki hubungan perkawinan. Pelukis Neoklasikisme itu ingin menyampaikan pesan, “Belalah negaramu meski harus melawan keluargamu sendiri.”

            Dukungan terhadap pemerintah juga diperlihatkan Affandi. Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan, Soekarno meminta dia membuat poster yang dapat membakar semangat kemerdekaan. Pelukis kelahiran Cirebon itu langsung beraksi, ia meminta Dullah menjadi model, digambarkan tengah mengibarkan bendera merah putih dengan borgol rantai terputus. Soedjojono meminta slogan pada Chairil Anwar. “Bung, ayo Bung!” jawab sang penyair.

            Sementara kritikan terhadap pemerintah dibuat oleh Théodore Géricault dengan karya Raft of the Medusa tahun 1819. Lukisan raksasa berukuran 5x7 meter itu menceritakan penumpang rakit yang tengah berjuang antara hidup dan mati. Kapal La Médusa milik pemerintah Perancis yang mereka tumpangi tenggelam di pantai barat Afrika. Sang Kapten dan anak buahnya bersikap pengecut, mereka meninggalkan penumpang dalam bahaya. Dari 150 penumpang tersisa 15 orang selamat.

            Contoh protes terhadap kekuasaan pemerintah juga diperlihatkan Djoko Pekik. Untuk menunjukkan perlawanannya terhadap orde baru, ia melukis trilogi celeng. Di antara ketiga karyanya, Berburu Celeng yang paling mendapat sorotan publik. Sebagaimana telah dihafal masyarakat seni rupa Indonesia, lukisan cat minyak tersebut dimaknai sebagai protes sang pelukis terhadap rezim Orde Baru yang pernah memenjarakannya.

            Seni rupa terbukti berperan. Jika ada yang tidak melihatnya, bukan karena seni rupa tidak ada, tapi karena terlalu dekat dengan dirinya. []



Tidak ada komentar:

Posting Komentar