PESAN KEKUASAAN LEWAT SENI RUPA
Oleh: Deni Junaedi
Saking leburnya, kadang peran seni
rupa di dunia politik tak lagi disadari. Jika dicermati, sesungguhnya bayak
pesan-pesan ideologis yang hanya efektif jika disampaikan lewat citraan visual.
Contoh sederhana terlihat selama kampanye. Untuk menggaet massa, parpol
menebarkan visual dengan berbagai sense, dari gambar yang mencitrakan
watak seorang bapak yang mampu mengayomi, atau figur keibuan yang dekat dengan wong
cilik, hingga seorang agamawan yang soleh. Tak hanya itu, logo-logo
yang membawa ide tertentu dipilih yang paling mampu bercokol dalam benak masyarakat.
Masih terekam di ingatan ketika Amerika melumpuhkan Irak dalam perang teluk jilid dua. Yang dilakukan pasukan Paman Sam pertama kali saat menerobos pusat kota Baghdad bukannya menangkap pegawai-pegawai pemerintah Irak atau membom kantor mereka, namun: merobohkan patung Saddam Husain. Mereka sadar bahwa patung itu adalah simbol kekuasaan politis Sadam. Karenanya tak boleh menunggu lama, saat itu juga, tanggal 9 April 2003, karya seni rupa itu mesti lenyap. Negeri yang gemar perang itu pun tak mau meninggalkan kekuatan visual yang mereka miliki, saat merobohkan patung raksasa itu mereka menutupi bagian wajah Sadam dengan stars and stripes, bendera Amerika. Kita memang sering lupa jika bendera termasuk bagian seni rupa.
Kekuatan visual tak sekedar
digunakan saat pemilu atau perebutan kekuasaan. Untuk melanggengkan kekuasaan,
sang penguasa tak lupa memanfaatkan seni rupa. Raja menggunakan asesoris-asesoris
visual yang dapat membedakan sekaligus meninggikan dirinya dari rakyat biasa. Mahkota
dibuat segagah dan seanggun mungkin agar citra dirinya sebagai orang nomer satu
terpancarkan. Konsep ini ditiru oleh tentara-tentara masa kini, mereka
menempelkan berbagai lambang visual kepangkatan di sekujur seragamnya.
Untuk menambah kewibawaan, seorang
penguasa kadang membuat peraturan khusus tentang penggunaan visual. Sebagaimana
yang terjadi di Kerajaan Mataram, saat itu Sultan Agung Hanyakrakusuma membuat
motif batik Parang Rusak Barong yang khusus digunakan raja. Karenanya tidak
aneh jika sekarang, dalam orientasi mahasiswa baru, para senior dengan angkuh
menyuruh adik kelasnya mengenakan seragam hitam-putih, seragam formal bawahan.
Yang boleh mengenakan jeans hanyalah para senior yang tengah berperan sebagai
raja kampus.
Tak dapat dilupakan, dalam istananya
sang raja meninggikan kursi, mengukir dengan pahatan terhalus, melebarkan
sandaran tangan seakan menjadi kebesaran tangannya sendiri, dan yang tak kalah penting
adalah menjuluki kursi itu dengan istilah khusus, tahta, singgasana, atau
Dampar Kencono. Cara seperti itu juga diterapakan dalam lingkungan akademis, saat
senat mewisuda mahasiswanya, seakan berkata, “Hai Muridku, meskipun engkau
telah diwisuda namun kedudukanmu tetap lebih rendah dariku, lihatlah, kursiku
lebih tinggi, bajuku lebih besar, dan aku menggunakan kalung indah yang tidak
kau punya.” Pola seperti itu juga ditiru hakim-hakim; untuk menjadikan dirinya
berwibawa, tempat duduknya dibuat lebih bagus, lebih lebar, dan lebih tinggi
ketimbang kursi terdakwa. Seni rupa kembali berperan.
Jejak
Seni Rupa Politis
Bahasa visual untuk meningkatkan
wibawa kekuasaan telah berusia purba, bisa jadi setua budaya manusia. Nigel
Spivey memaparkan hal itu secara apik dalam kemasan film berjuluk “The Art of
Persuasion” (Seni Mempengaruhi) dalam seri How Art Made the Word.
Di sana terungkap bahwa penggunaan visual sebagai alat politik telah ada sejak
pembangunan monumen purba Stonehenge di Inggris. Jika mengacu pada buku A
World History of Art karangan Hugh Honour dan John Fleming, berarti telah
ada sejak tahun 2100 SM. Kalau begitu, seharusnya penggunaan seni rupa dalam
kekuasaan telah ada jauh sebelum tahun tersebut, sebab arkeolog memperkirakan
tahun 7000 SM telah ada peradaban di Mesir; sementara di sana nuansa budaya
visual sangat kental terasa. Dan jika analisa Arysio Santos benar, mungkin
sekali bahasa visual telah digunakan lebih lama lagi. Ia menyatakan bahwa benua
Atlantis yang misterius itu justru ada di Indonesia, dan baru terendam air laut
11.600 tahun lalu karena letusan Gunung Krakatau. Geolog dan fisikawan nuklir
dari Berasil itu juga menggunakan analisa visual untuk menarik tesisnya.
Kembali ke masa Stonehenge. Dr
Andrew Fitzpatrick, seorang arkeolog Wessex, berhasil menggali makam prasejarah
terkaya di Eropa. Sebagaimana layaknya makam penguasa, dalam liang itu
ditemukan berbagai benda indah, dari gelang hingga pelindung tangan. Yang
istimewa, dalam kubur tua itu ditemukan benda kecil terbuat dari emas yang
diperkirakan sebagai hiasan rambat. Ini barang baru, sebelumnya Eropa tidak
mengenal emas. Diduga kuat benda itu digunakn sebagai alat politis untuk
meningkatkan kewibawaan; di antara rakyat biasa yang mengenakan pakaian alami
berwarna kusam, Raja yang datang dari Eropa Tengah itu tampil beda dengan emas
berkilau di rambutnya. Segera setelahnya, para raja berlomba menempatkan
kilauan emas di kostumnya.
Perhiasan raja hanya berpengaruh
pada orang-orang disekitar kerajaan. Problem selanjutnya akan muncul ketika
sebuah kerajaan meliputi wilayah yang sangat luas. Hal ini yang dialami Darius
Agung dari Persia. Penguasa Mediterania hingga India itu menemukan solusi:
lewat revolusi visual. Ia menghiasi ibukotanya, Persepolis, dengan berbagai
visual. Tidak hanya dari satu gaya, tapi kumpulan ragam rupa dari wilayah
kekuasaannya. Sekali setahun Darius mengundang para duta. Wakil-wakil itu
tersanjung ketika melihat langgam seni rupa dari wilayahnya digunakan di Istana
kerajaan, mereka juga “tersihir” saat memperhatikan relief yang menggambarkan
orang-orang tahlukkan tengah memberi persembahan. Figur-figur itu terukir
mengenakan pakaian tradisional sebagaimana pakaian para duta, artinya, mereka
juga mesti memberi persembahan kepada raja.
Cara itu manjur untuk para duta,
tapi bagaimana dengan jutaan rakyat yang tidak pernah ke istana. Sekali lagi
Darius melakukan tindak visual. Di ketinggian tebing batu yang tegak berdiri di
jalan utama menuju Persepolis, ia memahat iklan raksasa penuh aroma politis.
Raja yang berkuasa tahun 522 hingga 486 SM itu digambarkan memegang busur
panah. Semua rakyat Persia kala itu tahu, pemanah bukan sekedar gambaran
perang, namun mencerminkan kebijaksanaan dan kepemimpinan, atau keseimbangan
dan kendali. “Darius Sang Pemanah,” kata rakyat Persia dengan bangga. Kini para
pemimpin parpol tak perlu susah-susah memahat tebing batu, mereka cukup pergi
ke tukang print digital untuk mencetak ballyhoo, lalu tinggal pasang
menggunakan bambu di pinggir jalan, tidak rapi tidak mengapa.
Kepiawaain Darius tak berhenti di
sini. Untuk mengembangkan citra ia membuat logo “Darius Sang Pemanah” lalu
mencetaknya dalam ribuan koin uang. Otomatis alat tukar berlogo itu menyebarkan
di tengah masyatrakat. Kini dunia dipenuhi logo parpol, banyaknya sejumlah
parpol yang ada.
Berbeda lagi dengan Alexander Agung
dari Macedonia. Ia tidak puas jika hanya memakai logo. Penguasa yang mampu
meluaskan imperiumnya di tiga benua itu memperkenalkan citraan visual realistik,
potret politis. Pada rumah penduduk di Pompeii terungkap mozaik yang
menggambarkan dirinya dengan ekspresi gagah berani menghadapi musuh-musuh
imperium. Tanpa helm besi ia menerobos di tengah musuh, menghadapi raja lawan
yang digambarkan loyo. Jika Darius meluncurkan koin berlogo, Alexander menerbitkan
koin dengan potret dirinya. Digambarkan sebagai pemberani yang memiliki tatapan
tajam. Dan kini, tak terhitung penguasa yang memajang potretnya dalam mata
uang, termasuk — tentu saja — presiden Soeharto dalam lembar 50 ribuan.
Dukungan
dan Penolakan Seniman
Di sisi lain seniman juga
menggunakan karyanya untuk mendukung atau mengkritik kekuasaan pemerintah. Dukungan
terhadap pemerintah ditunjukkan oleh Jaques-Lois David lewat lukisan Oath oh
the Horatii. Di tengah hangatnya suhu politik menjelang Revolusi Perancis,
David memamerkan karya yang menceritakan sumpah setia tiga orang anak laki-laki
Horatii dihadapan ayahnya untuk berperang melawan keluarga Curiatii, meski
sebenarnya dua keluarga itu memiliki hubungan perkawinan. Pelukis Neoklasikisme
itu ingin menyampaikan pesan, “Belalah negaramu meski harus melawan keluargamu
sendiri.”
Dukungan terhadap pemerintah juga
diperlihatkan Affandi. Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan, Soekarno
meminta dia membuat poster yang dapat membakar semangat kemerdekaan. Pelukis
kelahiran Cirebon itu langsung beraksi, ia meminta Dullah menjadi model,
digambarkan tengah mengibarkan bendera merah putih dengan borgol rantai
terputus. Soedjojono meminta slogan pada Chairil Anwar. “Bung, ayo Bung!” jawab
sang penyair.
Sementara kritikan terhadap
pemerintah dibuat oleh Théodore Géricault dengan karya Raft of the Medusa
tahun 1819. Lukisan raksasa berukuran 5x7 meter itu menceritakan penumpang
rakit yang tengah berjuang antara hidup dan mati. Kapal La Médusa milik
pemerintah Perancis yang mereka tumpangi tenggelam di pantai barat Afrika. Sang
Kapten dan anak buahnya bersikap pengecut, mereka meninggalkan penumpang dalam
bahaya. Dari 150 penumpang tersisa 15 orang selamat.
Contoh protes terhadap kekuasaan
pemerintah juga diperlihatkan Djoko Pekik. Untuk menunjukkan perlawanannya
terhadap orde baru, ia melukis trilogi celeng. Di antara ketiga karyanya, Berburu
Celeng yang paling mendapat sorotan publik. Sebagaimana telah dihafal
masyarakat seni rupa Indonesia, lukisan cat minyak tersebut dimaknai sebagai protes
sang pelukis terhadap rezim Orde Baru yang pernah memenjarakannya.
Seni rupa terbukti berperan. Jika
ada yang tidak melihatnya, bukan karena seni rupa tidak ada, tapi karena
terlalu dekat dengan dirinya. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar