APOTHEOSIS FREEMASONRY DALAM THE LOST SYMBOL
Oleh: Deni Junaedi
September-Desember
2010, 49-58 (PDF terlampir).
Abstract
In the latest novel, The
Lost Symbol, Dan Brown explains about
“apotheosis”: “Human became God” or “Divinized Man”. Like
in older novels, Brown uses art masterpieces to support his ideas, now explores
Brumidi’s work, The Apotheosis of Washington. He writes that apotheosis is in accordance with Bible, Koran, Bhagavad
Gita, and others holy books; actually, there is no apotheosis concept in Koran.
The world of Freemasonry can not be separated with his novels.
Keywords: The Apotheosis of Washington, Constantino Brumidi, Freemasonry, The Lost Symbol.
Novel-novel Dan
Brown menempati ruang tersendiri dalam khasanah seni rupa karena menempatkan art
masterpieces sebagai jantung cerita. Dalam buku terbarunya, The Lost Simbol, penulis kelahiran
Amerika Serikat 22 Juni 1964 itu mengupas karya Constantino Brumidi Apotheosis of Washington, mural seluas 433
meter persegi yang menutupi kanopi Rotunda Capitol Washington DC. Sebelumnya, pada
tahun 2000, lewat Angles and Demons Brown
memanfaatkan patung-patung Gian Lorenzo Bernini di Vatikan dan Roma. Dan di
novel terkenalnya, The Da Vinci Code,
penulis yang tinggal di New England itu menggunakan lukisan-lukisan Leonardo da
Vinci.
Rupanya pembaca
setia Brown tak sabar menanti, hari
pertama peluncuran The Lost Simbol di
New York 15 September 2009, lebih dari satu juta kopi terjual ludes. Prestasi
itu tercatat sebagai rekor novel dewasa dengan penjualan tercepat sepanjang
sejarah. Seminggu kemudian, hanya di Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris, dua
juta kopi dilahap pengantri. Penerbit-penerbit di seluruh pelosok dunia
berkompetisi memperoleh right. Di
Indonesia, Penerbit Bentang berhasil mendapatkannya dan mengganggap sebagai
‘sebuah catatan prestasi istimewa’.
Lewat tokoh
utamanya, Robert Langdon sebagai dosen simbologi dari Harvard University, Brown
dengan piawai mengemas argumentasi-argumentasi terkait dunia Freemasonry. Jika
dalam The Da Vinci Code Brown
menyerang kepercayaan Kristiani dengan mengatakan Yesus memiliki istri Maria
Magdalena (2005:338-348), pada The Lost
Simbol dia mengajarkan paham aphotheosis: upaya manusia menjadi tuhan. Dengan kemampuannya memadu fakta dan
fiksi yang dikemas di alur thriller,
Brown menerangkan apotheosis sebagai puncak spiritual Freemasonry.
1.
Karya Apotheosis of
Washington
Apotheosis
of Washington, karya Constantino Brumidi, adalah
puncak kejayaan Gedung Capitol Amerika Serikat. Mural ciptaan tahun 1865 tersebut
menjadi pusat The Lost Symbol. Lukisan dinding dengan teknik fresco itu
menghiasi bagian dalam kubah dengan ukuran yang sangat mencengangkan di
ketinggian sekitar 55 meter. Sebagaimana pemaparan Dan Brown, karya ini menjadi
penggambaran George Washington sebagai presiden pertama Amerika Serikat yang juga
Grand Master Freemasonry yang telah mencapai tahap apotheosis.
Di langit-langit gedung Kongres A.S.
tersebut tergambar George Washington duduk di surga mengenakan
jubah ungu, sebuah warna kebesaran kerajaan. Ia diapit dewi Kebebasan (Victory) di sebelah kiri sedang meniup terompet,
dan di sebelah kanan terdapat dewi Kemenangan (Liberty) mengenakan
topi Phrygian berwarna merah sebagi simbol emansipasi. Grand Master Mason itu dikelilingi 13 dayang, di atas kepala
masing-masing terdapat bintang yang merepresentasikan 13 koloni asli yang membentuk Amerika Serikat. Dua orang gadis
di seberang Washington membawa pita
bertuliskan E Pluribus Unum, suatu
kalimat yang juga terdapat dalam lambang negara Amerika Serikat yang berari Bhineka
Tunggal Ika.
Elemen
penting yang menggambarkan apotheosis adalah bentuk pelangi di balik awan yang
diduduki Washington. Lengkung warna-warni tersebut menjadi simbol kejayaan yang
menghubungkan langit dan bumi. Ikonografi pelangi bukan lah barang baru.
Karya-karya Pengadilan Terakhir (The Last Judgment), misalnya
ciptaan Lochner pada abad ke-15, menggambarkan Yesus tengah duduk di atas
pelangi saat hari perhitungan dosa.
Dalam Apotheosis of Washington Brumidi menambah figur dewa-dewi dilingkaran
lapis kedua. Columbia atau dewi Kemerdekaan berada
tepat di bawah Washington. Ia dilukis tengah mengacungkan pedang untuk berperang memperjuangkan kemerdekaan.
Di sebelah kiri terdapat sang asistennya, elang botak (bald eagle). Di sisi lain terdapat Merkuri, dewa Perdagangan,
menyerahkan sekarung emas kepada Robert
Morris untuk mengurus keuangan saat Perang Revolusi. Ada juga Minerva, dewi
Kebijaksanaan, nampak sedang memberi instruksi kepada Benjamin Franklin.
Terdapat pula Ceres, Flora, dan Pomona, dewi-dewi Romawi yang terkait dengan agrikultur
dan kesuburan panen; mereka tengah menawarkan bantuan kepada kaum muda Amerika.
Pada bagian lain Neptunus, dewa Lautan, membuka jalan di samudera sebagai persiapan
untuk menambatkan kabel dasar laut. Tak ketinggalan Vulkan, dewa Api,
digambarkan berada di tempat pandai besi, menghasilkan mesin uap dan meriam.
Namun karena oculus (lingkaran yang menjadi frame kubah) lebih kecil
ketimbang muralnya, maka tidak semua figur dapat terlihat.
Keseluruhan mural
tersebut dikelilingi oleh 72 pentagram atau bintang segi lima. Simbol yang
kadang dikaitkan dengan ketuhanan ini telah muncul sejak peradaban Mesir,
mengacu pada duat yang kurang lebih berarti surga (Cox, 2010:55-58). Dalam
ritual supranatural (occultist) maupun sihir (witchcraft), pentagram
memainkan peran penting (Burns, 2009:42). Simbol-simbol Mesir kuno maupun
okultisme memang sering digunakan dalam lingkungan Freemasonry.
Sebenarnya Brumidi
bukanlah seniman pertama yang mengangkat judul Apotheosis of Washington.
Sebelumnya tahun 1802, John James Barralet membuat karya grafis yang
menggambarkan Washington tengah diterbangkan dari makamnya ke Gunung Olimpus
oleh dewa Waktu beserta dukungan dewa-dewi lainnya (Jacobs, 1977:115). Dan pada
tahun 1960, lithograf Apotheosis of Washington dikerjakan oleh H.
Weishaupt. Dalam karya tersebut Washington dibawa terbang ke surga oleh dewi
Keimanan dan dewi Cinta, sementara dewi Harapan melapangkan jalan.
2.
Constantino
Brumidi Perupa Capitol
Constantino
Brumidi, seniman pencipta Apotheosis of Washington, lahir di Roma bulan 26
Juli 1805. Ayahnya berasal dari Peloponnese Yunani dan ibunya orang Italia.
Karena bakat seninya yang telah nampak sejak kecil, Brumidi belajar di kampus
terkenal Accademia San Luca.
Selepas kuliah ia
membangun karirnya di Roma. Karena bakatnya, ia menerima perlindungan dari Paus
Gregorius XVI. Brumidi mendapat tugas membuat lukisan dinding Vatikan dan
merestorasi Loggia of Raphael, galeri terbuka ciptaan seniman
renaissance Raphael. Brumidi juga pernah bekerja pada Pangeran Torlonia dan
mengabdi pada Paus Pius IX yang diabadikan dalam potret seluruh badan.
Tahun 1848 terjadi
kerusuhan di Vatikan, demonstrasi menuntut pemerintahan demokratis marak di
jalan-jalan. Brumidi berpihak pada kaum revolusioner, hingga tahun 1851 ia
dijatuhi hukuman penjara 18 tahun. Untung Paus Pius IX yang karena kedekatannya
mengampuni Brumidi, dengan syarat ia mesti meninggalkan Italia.
Bersama istrinya,
Anna, Brumidi menuju New York dan menjadi warga negara AS pada 1852. Sebagaimana
karirnya di Roma, ia sempat membuat lukisan dinding di belakang altar Gereja
Stefanus di New York dan bekerja di Baltimore dan Meksiko. Selanjutnya ia
menunjukkan kebolehannya di gedung MPR-nya A.S. Perupa yang disebut
“Michelangelo-nya Capital” itu menciptakan illusi visual (tromple l’oeilo) di koridor-koridor hingga ruang Wakil Presiden.
Tetapi Apotheosis of Washington, dianggap sebagian besar ahli seni
sebagai masterpieces Brumidi.
Perintah pembuatan mural tersebut diterima Brumudi pada bulan Agustus
1862, sementara George Washington sendiri telah dikubur 131 tahun sebelumnya. Ia
menerima persetujuan dari kedua partai setelah menyerahkan sketsa awal. Dan
sejak April 1863 Brumidi dibayar US$2.000 per bulan, dengan catatan total
pembayaran tidak lebih dari US$40.000. Tahun 1865 ia dapat menyelesaikan
mahakaryanya.
Ketinggian lokasi Apotheosis of Washington memaksa Brumidi
bekerja keras. Di usianya yang telah tua dan kesehatannya yang memburuk, ia
mesti naik turun tangga. Untuk
memberinya sedikit rasa nyaman, dia diberi kursi di perancah yang berbahaya.
Pada Oktober 1879, Brumudi terjatuh dari kursi itu, untung berhasil berpegangan
pada anak tangga. Ia tidak kapok, keesokan harinya kembali ke kursi itu.
Semakin lama kondisi kesehatannya semakin memburuk, di musim dingin
Februari 1880 ia berpisah dari kehidupan dunia. Kini, untuk menghormati 25
tahun perjuangnnya mempercantik Gedung Capitol, di Brumidi Carridor ditempatkan patung dada Brumidi (Cox,
2010:102-107).
3. Freemasonry
Organisasi Penuh Simbol
Novel-novel Dan Brown lekat dengan dunia Freemasonry. Karenanya, tanpa memahami
Freemasonry, buku pengarang yang kini menempati jajaran elite penulis dunia itu
kurang dapat ditangkap spiritnya. Freemasonry
digambarkan sebagai “sistem moralitas, terselubung alegory, dan di
illustrasikan dengan simbol.” (Morgan, 2007:8).
Deskripsi itu diberikan untuk menjelaskan berbagai aspek rahasia mereka.
Persaudaraan ini memang banyak dipandang sebagai “perkumpulan rahasia” (secret
society), namun mereka mengidentifikasi dirinya sebagai “perkumpulan yang
penuh rahasia” (esoteric society) (Cox, 2010:230).
Peran simbol sangat penting
dalam dunia Mason. Sampai-sampai dalam inisiasi derajat pertama, seorang Mason
diharuskan mengucapkan kata, “Di sini, semua adalah simbol.” (Beresniak :8), dan
setiap tingkatan memiliki simbol berbeda. Jangka dan sudut, simbol Freemasonry
yang paling dikenal, dipandang para Mason sebagai sebuah “Bintang David”, (Cox,
2010:230) citra lain simbol Zionisme Israel.
Pemaknaan simbol ini mirip dengan ying dan yang, dua hal
yang bertentangan namun saling mengisi. Seperti tubuh dan jiwa, material dan
spiritual, atau manusia biasa dan manusia tercerahkan.
Kebanyakan pengamat menyatakan
Ksatria Templar sebagai cikal bakal Freemasonry (Morgan, 2007:77). Pasukan ini
didirikan tahun 1118, dua tahun setelah tentara salib merebut Yerusalem.
Keberadaan Ksatria Templar, sebagaimana yang dikemukakan dihadapan Raja
Yerusalem King Baldwin, untuk mengamankan jalur peziarah Eropa dari pelabuhan
Jaffa ke Yerussalem.
Kendati Ksatria
Templar menjadi bagian tentara salib, namun sesungguhnya mereka tidaklah
beragama Kristen (Baigent dalam Tasmara, 1999:61). Mereka justru mengadopsi
doktrin-doktrin Kabbalah (Knight dalam Harun Yahya, 2005:15), ilmu kebatinan esoterik
Yahudi untuk mempelajari arti tersembunyi dalam kitab Taurat.
Dalam
perkembangannya setelah pasukan salib kalah dan kembali ke Perancis, Ksatria
Templar dibantai dan dibubarkan Gereja dengan tuduhan
melakukan bidah. Meski demikian mereka tidak benar-benar musnah. Beberapa
anggotanya melarikan diri ke Skotlandia, wilayah Eropa yang tidak mengakui
kekuasaan Gereja Katolik. Mereka bersembunyi
dalam serikat tukang batu yang biasa disebut Mason. Dari sinilah terjadi
perubahan nama Ksatria Templar menjadi Freemasonry (persaudaraan tukang batu
bebas) (Ridyasmara, 2006:132-139).
Keadaan itu membuat mereka hidup
dalam kerahasiaan. Namun kerahasiaan itu pulalah yang membuat mereka bisa
bergerak kemana-mana menuntut balas dan menyebarkan ideologi. William Gay Carr,
seorang mantan anggota dinas rahasia Inggris, banyak mengungkap keterlibatan
anggota Freemasonry dalam berbagai konspirasi pergolakan dunia. Dari Revolusi
Perancis, Revolusi Oktober Rusia, Perang Dunia I, Perang Dunia II, hingga mengangkangi
pemerintahan Amerika Serikat (Carr, 2009:passim). Templar juga mampu
menguasai perekonomian dunia, dengan Rothschil sebagai tokohnya (Ridyasmara,
2006:205-215).
Freemasonry masuk ke Indonesia tahun 1764, dibawa masuk penjajah
Belanda. Raden Saleh, pelukis Indonesia pertama yang pernah belajar ke Eropa,
tercatat sebagai generasi awal Mason Hindia Belanda. Tokoh-tokoh Boedi Oetomo
juga masuk dalam kelompok tersebut. Hubungan Freemasonry dengan para Sultan Jogja
pada masa penjajahan Belanda juga sangat dekat, bahkan gedung lodji untuk
pertemuan para Mason yang terletak di jalan Malioboro dipinjam pakai dari
Sultan (Steven, 2004:1-183). Karenanya tidak aneh jika kita menemukan simbol
Bintang David pada tugu Jogja.
Setelah
di Indonesia hidup hampir dua abad, pada tanggal 27 Februari 1961 Presiden
Soekarno membubarkan Freemasonry karena tidak sesuai dengan kepribadian
nasional (Nurdi, 2007:184-185). Meskipun telah dibubarkan, namun di Indonesia
muncul organisasi lain yang sesungguhnya merupakan turunan dari Freemasonry,
misalnya The Rotary Club (Siagian dalam Steven, 2004:xiii).
4.
Apotheosis Freemasonry
Apotheosis berasal
dari bahasa Yunani Kuno yang berarti “berubah menjadi dewa”. Dari gabungan kata
apo (berubah) dan theos (dewa). Dalam Freemasonry, apotheosis
disimbolkan dengan piramid yang puncaknya berkilau cemerlang (biasanya dengan
‘mata serba-melihat’) (Burns, 2009:32). Dalam uang satu dolar A.S. kita bisa
melihat simbol tersebut. Brown mencatat, filsafat Mason mengakui kemungkinan
adanya Tuhan di dalam diri manusia. Segala yang berada dalam jangkauan seorang
manusia yang tercerahkan berada dalam jangkauan Tuhan (Brown, 2010: passim).
Sebagaimana
disebutkan dalam The Lost Symbol, paham apotheosis Freemasonry didukung
ajaran alkimia dan hermeutika. Alkimia (alchemy) memiliki dua makna yang
berbeda meski saling terkait. Pengertian pertama berhubungan dengan persoalan
fisik yaitu ‘upaya mengubah timah menjadi emas’. Dari pengertian ini kelak
menjadi ilmu kimia (chemistry).
Sedang makna kedua lebih bersifat filosofis atau spiritual, yakni usaha manusia
untuk meraih kebijakan tertinggi, atau ‘dari manusia menjadi Tuhan’. Tujuan utama alkemi adalah perubahan wujud atau transmutasi
(transmutation), kondisi dimana
sesuatu berubah menjadi suatu yang lain. Alkemi berasal dari Mesir Kuno,
dipelajari orang-orang Barat lewat Yunani (Place, 2009:71-72).
Sementara hermeutika
(meskipun sama-sama berasal dari kata Hermes, namun memiliki pengertian
yang berbeda dengan hermeneutika) adalah tradisi filosofi mitos yang berkembang
di wilayah kosmopolitan Aleksandria pada sekitar abad pertama Masehi.
Kepercayaan Hermeutisisme, sebuah produk sinkretisme, sangat terpengaruh
Neoplatonisme dan Gnostisisme, serta pemikiran Mesir dari zaman Ptolomy,
Ibrani, dan Kristen (Cox, 2010:144-145). Brown
mengutip aforisme Hermetik, “Tidak
tahukah kalian bahwa kalian adalah Tuhan?” (Brown, 2010:238).
5.
Apotheosis di Belahan
Dunia
Sesungguhnya
konsep apotheosis, ‘manusia menjadi
Tuhan’, bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum George Washington, beribu
tahun lalu Firaun telah mentahbiskan diri sebagai Tuhan. Tercatat juga
raja-raja dari pusat kebudayaan pagan banyak yang menempatkan dirinya setara
Tuhan, sebut saja Naram-Sim raja pertama Mesopotamian; atau para Emperor
Roma seperti Tiberius, Caligula,
Claudius, Tiberius, dan sederet lainnya; demikian juga raja-raja suku Inca.
Pendewaan juga
terjadi pada Raden Wijaya, Raja Majapahit yang bergelar Kertarajasa
Jayawardhana; dalam Candi Simping di Blitar ia diarcakan sebagai dewa Harihara
atau gabungan antara dewa Siwa dan dewa Wisnu. Dari semua apotheosis, menurut
Brown, yang paling nyata adalah penuhanan Yesus (2010:125), yang dapat dilacak
sejak pengajaran Paulus (Ananias, 2008:53-148).
Di era kontemporer,
paham apotheosis tetap marak diajarkan. Tokoh spiritual India, Sai Baba,
menyatakan dirinya sebagai Tuhan yang menjelma menjadi manusia (Al-Adnani, 2006
: 208-212). Ajarannya diteruskan di Indonesia oleh Anand Kreshna. Menurut
Kreshna saat mencapai etape penyatuan antara jiwa dengan Tuhan, sangat sulit
memisahkan manusia dari Tuhan atau Tuhan dari manusia (dalam Jaiz, 2001:144).
Brown menyatakan
bahwa dalam al-Quran juga mengandung ide apotheosis (2010:681). Namun, meskipun
sempat menyusup dalam kehidupan umat Muslim, filsafat apotheosis bukanlah
ajaran Islam karena tidak dikenal dalam sumber hukum Islam. Paham apotheosis
masuk ke sebagian kaum sufi lewat ajaran tasawuf. Abu Yazid al-Buzhthami memperkenalkan
penyatuan manusia dengan Tuhan. Al-Hallaj
yang menyatakan dirinya sebagai ‘Yang Maha Benar’ (‘Ana al-Haq’). Al-Arabi
membawa ajaran kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan yang dikenal sebagai wahdatul wujud (Syukur, 2002:32-57). Lalu
diteruskan Syekh Siti Jenar di Indonesia mengajarkan manunggaling Kawulo-Gusti (Al-Qalami, :39).
Aqidah Islam
memberikan konsep sederhana. Sebagaimana dalam kalimat syahadat yang harus
diucapkan tiap orang Islam, la ilaha illa Allah, (tiada tuhan selain
Allah). Atau yang tertulis dalam al-Quran surat al-Ikhlas ayat 1, qul huwa
Allahu ahad, (Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa). Juga yang
tercantum dalam surat as-Syura ayat 11, laisa kamitslihi syai’un, (tidak
ada sesuatupun yan serupa dengan Dia). Dan masih banyak ayat lain yang
menegaskan keesaan Allah dan tidak adanya sesuatu yang setara dengan Dia.
Dengan demikian, tidak lah benar jika Dan Brown menyatakan di dalam al-Quran “membisikkan
pesan apotheosis”. []
Kepustakaan
Al-Adnani, Abu Fatiah, Dajjal Sudah Muncul dari Khurasan,
(Solo: Granada Mediatama, 2006, cetakan kesebelas 2007).
Al-Qalami, Abu
Fajar, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar,
(Surabaya: Pustaka Media).
Al-Qoshash, Ahmad, Peradaban Islam VS
Peradaban Asing, Terj. Utsman Zahid as-Sidany, (Bogor: Pustaka Thariqotul
Izzah, 2009).
Amini, Muhammad Safwat as-Saqa, dan Sa’di
Abu Habib, Gerakan Freemasonry, (Jakarta:
Maktab Rabitah, 1982).
Ananias, M.I., Evolusi Kristen, (Yogyakarta:
Gelanggang, 2008).
Beresniak, Daniel Symbol of Freemasonry,
(New York: Barnes and Nobel Books).
Brown, Dan, Angles and Demons, Terj. Isma B. Koesalamwardi, (Jakarta: Serambi,
2005, cetakan kelimabelas 2009).
_________, The Da Vinci Code, Terj. Isma B. Koesalamwardi, (Jakarta: Serambi,
2003, cetakan ketigabelas 2005).
_________, The Lost Symbol, Terj. Ingrid Dwijani Nimpoeno, (Yogyakarta:
Bentang, 2009, cetakan pertama 2010).
Burns, Cathy, Masonic ang Occult Symbol
Illustrated, (Mt.Carmel: Sharing, 1998, cetakan kedelapan 2009).
Carr, Willian Gay, Yahudi Menggenggam Dunia, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 1991,
cetakan ketujuh 2009).
Cox, Simon, Decoding The Lost Symbol,
(Jakarta: Hikmah, 2010).
Gaarder, Jostein, Dunia Sophie, Terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1996, cetakan
ketujuhbelas 2006).
Hasan, Muhammad Khalifah Sejarah Agama Yahudi, (Jakarta: Pustaka
Al Kautsar, 1998).
Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani,
(Jakarta: Tintamas, 1980).
Jacobs, Phoebe Lloyd, “John James Barralet
and the Apotheosis of George Washington”, Winterthur Portfolio, (Vol.
12, 1977:115-137 ).
Jaiz, Hartono Ahmad dan Abduh Zulfidar
Akaha, Bila Kyai Dipertuhankan, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001, cetakan
kesembilan 2008).
_________, Tasawuf, Pluralisme dan Pemurtadan, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2001).
Khilafah
dan Jejak Islam, (Bogor:
Pustaka Thariqul Izzah, 2009).
Morgan, Giles, Freemasonry, (Herts:
Pocket Essentials, 2007).
Place, Robert M., Magic and Alchemy,
( New York: Chelsea House, 2009).
Ridyasmara,
Rizki, Knights Templar Knights of Christ,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006).
Steven, Th., Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia
1764-1962, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004).
Syukur, Amir, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, cetakan
kedua 2002).
Tasmara, Toto, Dajal dan Simbol Setan, (Jakarta: Gema Insani, 1999).
Yahya, Harun, Ancaman Global Freemasonry, Terj. Halfino Berry, (Bandung: Dzikra, 2005).
Zoetmulder, P.J., Manunggaling Kawulo
Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, (Jakarta: Gramedia, 1991).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar