MEMBERSAMAI DENI JUNAEDI, MENGOLAH CAT AIR MELUKIS BESI
O leh: Doni Riw
Saat saya lahir, dia baru berusia
lima tahun. Kami tiga bersaudara. Kakak pertama kami perempuan, kami
memanggilnya Mbak Dhung. Mas Deni anak ke dua, sementara saya ke tiga. Kami
menghabiskan masa kanak-kanan di sebuah desa kecil di kaki Gunung Perahu sisi
utara, Desa Sukorejo, Kecamatan Sukorejo. Berseberangan dengan Dieng dan
Wonosobo.
Beruntunglah kami memiliki Ibu yang begitu penyayang. Setiap pulang belanja dari pasar, kami selalu dibelikan oleh-oleh meski hanya sederhana. Oleh-oleh untukku kadang makanan ringan, kadang mainan, berganti-ganti. Tetapi oleh-oleh untuk Mas Deni selalu sama, tak pernah berganti, yaitu buku gambar dan cat air. Entahlah, sejak kecil dia sangat doyan menggambar. Satu buku yang dibelikan hari itu, akan dihabiskan hari itu juga. Esok hari ibu akan membelikan lagi, kemudian dihabiskan lagi di hari yang sama. Begitu seterusnya.
Jika Ibu memberikan buku gambar,
maka Bapaklah yang menurunkan kegemaran dan keterampilan itu. Bapak pernah
menjadi seorang pelukis yang cukup sukses dalam waktu beberapa lama. Beliau
berkarya dengan media bulu ayam yang ditempel-tempel sehingga tersusun lukisan
yang indah. Karya beliau dikoleksi oleh para pejabat pada masanya; Presiden
Suharto, Ratu Belanda, dan lain sebagainya. Tetapi ada hal-hal yang tidak saya
ketahui yang membuat bapak akhirnya berhenti. Kemudian melanjutkan hidup dengan
menjadi tukang stample dan plat nomer. Di masa tersebut, Bapak aktif mengisi
pengajian di desa-desa sekitar Sukorejo bahkan hingga Muntilan Magelang.
Saat Bapak menjadi tukang
stample, Saya dan Mas Deni sering membantu di kios rombongnya yang terletak di
alun-alun Sukorejo. Di sela-sela membantu Bapak, Mas Deni membuatkanku mainan
mobil-mobilan dari triplek. Bermacam bentuk dia buat. Ada truk gandeng,
kontainer, truk pemadam kebakaran, campervan, dan lain sebagainya. Saat itu
Saya tidak punya mainan lain kecuali mainan buatan Mas Deni. Sementara itu,
bapak membuatkankan Mas Deni easel lipat kecil ukuran anak. Easel tersebut
pertama kali digunakan Mas Deni pada suatu lomba melukis yang diselenggarakan
di obyek wisata Curug Sewu.
Saya dan Mas Deni punya kawan
bermain yang juga sama-sama gemar melukis, kami memanggilnya; Sipur. Nama
aslinya; Agus Purnomo. Kelak dia akan menjadi tokoh penting pelukis kaligrafi
kontemporer Indonesia bernama; Agus Baqul Purnomo. Saat kami memasuki usia
remaja, kami mengumpulkan belasan kawan di Sukorejo dan sekitarnya, yang
sama-sama gemar menggambar, untuk mendirikan sanggar lukis. Kami menamai sanggar itu; Sanggar Lukis
Eccentric (baca: Eksentrik). Mas Deni ketua, Sipur bendahara, Saya sekretaris.
Kami menyelenggarakan pameran perdana di gedung kawedanan. Kemudian secara
rutin mewakili kecamatan Sukorejo di ajang pameran pembangunan kabupaten
Kendal.
Selepas SMA, Sipur hijrah ke
Yogyakarta untuk kuliah seni lukis di Institut Seni Indonesia (ISI). Sementara Mas Deni ke Bandung,
nyantrik di pelukis kondang Bandung; Jeihan Sukmantoro. Saya tak paham benar
proses berkesenian dia di Bandung karena memang tidak menyertainya ke sana.
Tetapi dari karya-karya yang dibawa pulang, menunjukkan kemajuan visual yang
berarti. Sekitar satu setengah tahun berikutnya, Mas Deni pulang kampung. Dia
mengungkapkan niatnya untuk mendaftar kuliah di ISI, menyusul Sipur.
Secara matematis, kondisi ekonomi
kami saat itu tidak memungkinkan untuk kuliah di luar kota. Apa lagi saat itu, tahun 1997, memasuki resesi ekonomi yang diikuti dengan
inflasi mata uang rupiah dari Rp 2.500/USD menuju Rp 17.000/USD. Sebungkus
rokok yang sebelumnya seharga Rp 1.000 melonjak menjadi Rp 10.000. Begitu pula
kebutuhan pokok hidup yang lain. Tetapi dengan kemauan keras, akhirnya tercapai
juga cita-cita Mas Deni
kuliah di ISI.
Di fase awal hidup di Jogja, Mas
Deni membiayai hidup dengan membuat ilustrasi untuk sebuah majalah taman
kanak-kanak yang berkantor di Weleri Kendal. Sayalah yang berperan menjadi
penghubung dari Weleri-Kendal ke Yogyakarta. Otomatis setiap bulan separuh
hidup saya di Kendal, separuhnya di Yogyakarta. Tetapi itu tak berlangsung
lama. Berbarengan dengan majalah itu gulung tikar, Mas Deni mendapatkan proyek
membuat lukisan untuk sebuah interior kapal. Sejak itu, Mas Deni benar-benar
hidup dari lukisannya. Dengan teknik pointilis, figurative, dan menggarap
tema-tema parodi, lukisannya mulai diterima pasar seni rupa.
Perjalanan gaya visual Mas Deni
mengalami beberapa fase perubahan. Setelah fase pointilis figurative tersebut
perlahan Mas Deni bergeser ke gaya futurisme, masih dengan teknik pointilis, kemudian bergeser lagi ke
ekspresionis dengan teknik kerok, kemudian bergeser lagi ke pengolahan
figure-figur ambigu.
Selama bertahun-tahun berikutnya,
antara Saya, Mas Deni,
dan Sipur sibuk dengan dunia masing-masing. Meski sama-sama tinggal di Yogyakarta,
kami jarang bertemu. Sampai datang sebuah Kekuatan Besar yang menyatukan kami
kembali. Kami bertiga beserta beberapa seniman muslim yang lain bersama-sama
mendirikan Jejaring Seniman Muslim KHAT. Sungguh ini membuat kami teringat
kisah beberapa belas tahun yang lalu saat kami mendirikan Sanggar Lukis
Eccentric.
Tahun 2015, Bapak divonis
menderita Leukemia. Dokter bilang, karsinogen yang membuat bapak terserang
leukemia adalah zat-zat kimia yang tehirup melalui hidung. Pekerjaan bapak
memang lekat dengan cat-cat kimia, cairan-cairan kimia pembuat stample, dan
lain-lain. Hanya sebulan setelah vonis itu, bapak meninggal. Ini menjadi
pukulan yang sangat berat bagi kami. Dari kejadian tersebut, Mas Deni
memutuskan untuk berpindah dari cat minyak ke cat air. Ini terasa bagai kembali
lagi ke masa kecil ketika Ibu setiap hari membelikan buku gambar dan cat air.
Pada fase awal perpindahan media
itu, Mas Deni kembali mengeksplor teknik-teknik cat air yang lama tak disentuh
karena belasan tahun bergelut dengan cat minyak. Perlahan tapi pasti, Mas Deni
menyusun teknik dan konsep yang saling terintegrasi menjadi sebuah rangkaian
karya dengan satu tema yang terinspirasi dari surat Al Hadid, yang berarti
Besi, terutama ayat 25:
لَـقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِا لْبَيِّنٰتِ وَاَ
نْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتٰبَ وَا لْمِيْزَا نَ لِيَقُوْمَ النَّا سُ بِا لْقِسْطِ وَاَ
نْزَلْنَا الْحَـدِيْدَ فِيْهِ بَأْسٌ شَدِيْدٌ وَّمَنَا فِعُ لِلنَّا سِ
وَلِيَـعْلَمَ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهٗ وَ رُسُلَهٗ بِا لْغَيْبِ اِنَّ اللّٰهَ
قَوِيٌّ عَزِيْزٌ
"Sungguh, Kami
telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan
bersama mereka Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil. Dan
Kami menurunkan besi yang mempunyai kekuatan hebat dan banyak manfaat bagi
manusia, dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan
rasul-rasul-Nya walaupun (Allah) tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha
Kuat, Maha Perkasa."
(QS. Al-Hadid 57: Ayat 25)
Di dalam ayat tersebut, secara spesifik Allah
menggunakan kata اَ نْزَلْنَا (kami turunkan) untuk
menerangkan keberadaan الْكِتٰبَ (Al Kitab/Al Quran) dan الْحَـدِيْدَ (besi). Al Quran adalah wahyu
Allah yang diturunkan ke bumi untuk manusia. Artinya bahwa Al Quran berasal
dari luar bumi, begitu pula besi. Secara saintifik, bumi tidak memproduksi
besi. Besi berasal dari ledakan supernova di luar tata surya. Terjadi saat usia
bumi masih cukup awal, belum padat. Besi dari
supernova tersebut kemudian sebagian menuju inti bumi, sebagian masih di
sekitar permukaan. Konsep tersebut kemudian menjadi sumber inspirasi bagi karya-karya
terbarunya.
Dalam karya yang berjudul “From Above”, Mas Deni
menggambarkan penurunan besi ke bumi itu dengan lelehan cat, sebuah teknik yang
populer di dalam khasanah cat air. Besi-besi itu kerap kali dihadirkan dalam
visual beraneka ragam ukuran roda gerigi suatu mesin besar. Sedangkan dalam
karya berjudul “The Sent Down Book and Iron”, Mas Deni lebih spesifik lagi
dalam menggambarkan ayat ke 25 Surat Al Hadid tersebut.
Tidak kalah menarik adalah karya berjudul
“Watiron”. Nama “Watiron” adalah penggabungan dua kata “Water” dan “Iron”. Di
dalam surat Al Baqarah ayat 22 Allah juga menyebutkan dengan kata yang sama
untuk menerangkan proses kedatangan air; وَّاَنْزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً , Air berasal dari es
plantesimal, sebuah benda padat di cakram protoplanet. Di dalam karya ini, Mas
Deni ingin menyampaikan bahwa dua zat penting dalam kehidupan manusia ini
memang Allah siapkan untuk kehidupan manusia di bumi.
Al Quran, Air, dan Besi adalah hal-hal penting bagi manusia yang Allah
turunkan ke bumi. Mas Deni menggambarkan ide itu dalam karya berjudul “The
Gift” atau hadiah. Bahwa apa-apa yang penting bagi manusia, Allah turunkan ke
bumi dan Allah beritahukan hal itu melalu Al Quran itu sendiri.
Mas Deni tidak hanya menggambarkan apa yang konseptual, tetapi juga
merespon peristiwa aktual. Di dalam karyanya yang berjudul “DF-41-COVID-19”,
Mas Deni mengamati dinamika politik China menjelang dan setelah paparan
Covid-19. DF-41 atau Dongfeng 41 adalah peluru kendali berhulu ledak nuklir
yang dikembangkan mandiri oleh China. Memili kemampuan jelajah antar benua. Di
tengah perseteruan politik dengan Amerika, parade senjata antar benua itu
memberikan pesan tegas ke dunia internasional tentang kedigdayaan China. Namun
hanya berselang bulan dari parade tersebut, China dibuat tak berkutik oleh
virus yang tak nampak mata namun tak mampu dilawan dengan misil baru yang
menggentarkan dunia itu.
Masih sejalan dengan isu Covid-19, Mas Deni dalam karya terbarunya yang
berjudul “Membakar Bumi” ingin mengatakan bahwa di balik bencana pandemi yang
menyebabkan kerugian teramat banyak ini tersembunyi harapan besar sebagaimana
wabah Black Death yang menyerang Eropa abad 14 berbalik menjadi cikal bakal
revolusi teknik yang hasilnya kita nikmati hingga hari ini.
Semua karya itu beserta karya lain yang setema digelar dalam Pameran
Tunggal Deni Junaedi berjudul “The SentDown Iron” di KHAT Gallery mulai tanggal
4 Oktober 2020. Pameran ini dirancang offline dan online. Pameran dan kegiatan
pendukung digelar secara offline di KHAT Gallery dan diselenggarakan dengan
pengunjung terbatas, serta mengikuti protokol kesehatan karena pandemi belum
juga berakhir. Selain itu, pameran ini juga disiarkan secara online melalui
akun instagram @khat.arts dan channel YouTube Painting Explorer Channel.
Selamat berpameran untuk Mas Deni, selamat berdakwah melalui karya seni.
Terima kasih untuk semua jejaring KHAT yang turut serta menyokong pameran ini.
Kepada para apresian, selamat menyelami pemikiran dan dakwah Mas Deni dalam
balutan teknik-teknik cat air yang mempesona.
Jogjakarta, 11 September 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar