KONSPIRASI CIA PADA LUKISAN EKSPRESIONISME ABSTRAK

KONSPIRASI CIA PADA LUKISAN EKSPRESIONISME ABSTRAK

Oleh: Deni Junaedi



Lukisan ekspresionisme abstrak yang tiba-tiba tenar ke seluruh dunia terasa aneh. Kiblat seni yang ujuk-ujuk berpindah dari Paris Eropa ke New York Amerika terasa mencurigakan, mengingat Amerika tidak memiliki sejarah panjang sejarah seni rupa, berbeda dengan perkembangan seni lukis Eropa yang berkesinambungan antara satu aliran dengan aliran lainnya.

Fenomena seni lukis Amerika yang meloncat ini kita dapat kita gunakan untuk mengeksplorasi pandangan, untuk melihat keadaan yang lebih luas. Painting memang dapat untuk explorer peradaban, welcome to PAINTING EXPLORER Channel.

Dominasi Amerika yang sekonyong-konyong ini sejalan dengan kondisi dunia yang berubah dari era penjajahan atau kolonialisme Eropa menjadi periode penjajahan gaya baru alias neokolonialisme Amerika.

Bau anyir abstrak ekspresionisme Amerika terendus pengamat seni.

Kritikus dan sejarawan seni Max Kozloff mengkaji lukisan Amerika dalam kaitannya dengan Perang Dingin. Esainya yang berjudul "American Painting During the Cold War" diterbitkan majalah Artforum tahun 1973. Ia menentang penulis Amerika semacam Irving Sandler yang memiliki “semangat memuji diri sendiri” sebagaimana dalam buku The Triumph of American Painting (terbitan 1970)

Setahun setelah tulisan Kozloff, Eva Cockcroft juga mensinyalir dinas intelegen Amerika bermain lukisan Ekspresionisme Abstrak. Penulis yang seniwati ini membuat artikel Abstract Expressionism, Weapon of the Cold War (atau Ekspresionisme Abstrak, Senjata Perang Dingin) dan memuatnya dalam jurnal Artforum tahun 1974.

Demikian pula, di tahun 1999, wartawan dan sejarawan Inggris, Frances Stonor Saunders, membuat buku tentang hubungan Central Intelligence Agency alias Badan Intelijen Pusat dengan “Perang Dingin budaya.” Di sana ia mengatakan, “Abstract Expressionism digunakan sebagai senjata Perang Dingin.”

Untuk memahami ini, kita memang perlu menepatkan lukisan abstrak ekspresionisme dalam konteks Perang Dingin.

Perang dingin adalah ketegangan politik dan militer yang dipicu perbedaan ideologi. Ideologi Kapitalisme-Liberalisme yang dipimpin Amerika Serikat bersama sekutunya, NATO, berhadap-hadapan dengan ideologi Sosialisme-Komunisme yang komando Uni Soviet besera sekutunya, negara-negara satlit. Baik AS maupun Uni Soviet baru saja keluar sebagai pemenang Perang Duni II.

Dalam dunia seni lukis, perang ideologi seni ini terwujud dalam benturan antara aliran ekspresionisme abstrak dengan realisme sosialis. Ini tidak terlepas dari perbedaan nilai estetis antara formalisme seni untuk seni dengan seni untuk masyarakat. Lukisan realisme sosialis dengan segala pertentangannya dengan lukisan abstrak telah dibahas PAINTING EXPLORER Channel pada video KOMUNIS BENCI LUKISAN ABSTRAK, tepat sebelum video ini, videonya dapat di klik di pojok kanan atas sini atau di deskripsi.

Kegeraman Amerika muncul ketika Uni Soviet mengejek, “Amerika itu gurun tandus budaya!”

Sebagai negara super tentu saja Amerika tidak terima... “Awas koe... Titenono wae!!!” demikian ancaman Harry Truman, presiden AS kala itu, jika ia bisa berbahasa Jawa. Presiden yang menyerang Jepang dengan bom atom ini ingin membalas Moskow.

Mata-mata Paman Sam pun segera digerakkan. CIA segera membentuk Congress for Cultural Freedom (CCF). Kongres untuk Kebebasan Budaya yang didirikan tahun 1950 ini menjadi benteng kebudayaan anti-komunis. CIA memasukkan lukisan ekspresionisme abstrak dalam gudang senjata kultural, setara dengan rudal nuklir dalam Arsenal.

Seniman digugah, teoritisi seni dilahirkan, galeri dibangun, museum ditegakkan, media massa disebar, katalog mewah dicetak, dan kolektor dipersiapkan. Amerika yang awalnya sunyi dari kabar seni tiba-tiba gegap gempita.

Jackson Pollock yang awalnya hanyalah pelukis biasa-biasa saja, malah saat SMA di Los Angeles dibully temannya sebagai “pemberontak busuk dari Rusia” segera menjadi bintang utama setelah CIA meminangnya.

Bertolak belakang dengan lukisan realisem sosialis yang berisi figur-figur realistik dengan makna-makna sosial tertentu, lukisan ekspresionisme abstrak sama sekali tidak figuratif. Tidak ada makna selain unsur-unsur visual, seperti warna, garis, dan bidang. Pollock menciprat-cipratkan cat pada kanvas lebar yang digelar di pantai. Ia sedang beraksi melukis, action painting, tidak sedang menghadirkan arti tertentu di luar seni lukis. Ia sedang menerapkan estetika formalisme dan menolak estetika sosialisme Marxizme.

Pelukis yang meninggal dalam kecelakangan karena menyupir dalam keadaan mabuk alkohol ini diwadahi dalam aliran Abstract expressionism atau ekspresionisme abstrak, Bersama dia ada pelukis Franz Kline yang goresannya sederhana namun antep, Willem de Kooning yang sapuannya maut, Mark Rothko yang tenang dengan bidang-bidang luas, Arshile Gorky yang puitik mengkomposisi bidang luas dan bidang kecil, maupun seniman-seniman lain.

Para pelukis itu setara dengan musisi jazz Louis Armstrong yang selama Perang Dingin dipromosikan ke seluruh dunia sebagai simbol budaya AS dan kemajuan kesetaraan ras. Meskipun nyatanya bentrok rasial masing terjadi di Amerika hingga saat ini... hehe...

Pollock dan rekan-rekan sejawatnya tidak dibiarkan mikir sendiri, biarlah para seniman ini berkarya, masalah konseptual dipercayakan pada kritikus seni Clement Greenberg. Greenberg tidak sendiri, Clive Bell dan Roger Fry bareng-bareng menjaga gawang formalisme. Para pemikir seni ini berseberangan dengan Theodor Adorno yang sejakan dengan estetika Sosialisme. Menurut Adorno, “Apa yang membuat karya seni penting secara sosial adalah isi yang mengartikulasikan diri melalui struktur bentuk.”

Sementara itu dalam formalisme yang penting adalah significant forms, yakni seluruh elemen formal dalam karya yang menimbulkan sensasi emosional, terlepas dari muatan naratif atau acuan representasional dibawa. Bentuk lingkaran dalam lukisan, misalnya, menjadi menarik ya karena lingkaran itu sendiri, significat forms dari lingkaran itu, bukan karena lingkaran itu bermakna matahari atau piring yang digunakan untuk mengantri para buruh.

Selaras dengan kebebasan dalam ekonomi Kapitalisme, tidak selaras dengan ekonomi terpimpin Sosialisme Komunisme, nilai estetis liberal pun mendewakan kebebasan dan individualisme. Kebebasan berekspresi merupakan nilai estetis yang terus diperjuangkan.

Seniman dan pakar seni tok tentu saja tidak cukup untuk mengguncang jagad seni rupa. CIA memanfaatkan infrastruktur museum, MoMA Museum of Modern Art.

Jabatan ketua dewan pembinanya MoMA diisi John Hay Whitney, agen CIA. Lewat lembaga inilah serangkaian pameran lukisan ekspresionisme abstrak. Tidak hanya diselenggarkan di dalam negeri, untuk mengukuhkan pengaruh Amerika di dunia internasional, kanvas-kanvas abstrak itu dikelilingkan ke Eropa di akhir dekade 1950-an.

Tate Gallery di London yang sangat bergengsi dibidik sebagai raung unjuk gigi.

Awalnya Tate Gallery tidak menyelenggarakan, maka miliarder Amerika, Julius Fleishmann, memberikan gelontoran dana agar pameran dapat digelar di Inggris. Fleischmann adalah presiden Farfield Foundation, Yayasan yang didanai CIA.

Katalog mewah diciptakan agar persepsi positif terhadap lukisan-lukisan itu semakin tersebar. Tidak ketinggalan, sejarawan seni Alfred H. Barr, Jr. diminta menulis pengantar. Ia pun terang-terangan memuji diri sendiri. “Para perupa abstrak-ekspresionis berhasil menciptakan gerakan seni baru yang penting. Mereka juga punya sumbangan, entah mereka sadari atau tidak, bagi suatu fenomena politik, yakni perceraian antara seni dan politik yang dengan sempurna melayani kepentingan Amerika Serikat dalam Perang Dingin,” demikian penanya menari. “Demonstrasi simbolik atas kebebasan dalam dunia di mana kata ‘kebebasan’ berasosiasi dengan sikap politik tertentu,” begitu imbuhnya untuk menekankan keberpihakan ideologis.

Konspirasi ketenaran mesti dibuat sempurna. Peggy Guggenheim dan para kolektor lain dihadirkan untuk membeli dengan harga fantastis.

Dari kampanye ekspresionisme abstrak ini, Amerika Serikat terpetakan dalam sejarah seni rupa dunia. Tidak hanya melawan realisme sosial komunis, tetapi juga menundukkan perjalanan seni rupa Eropa yang sudah dimulai sejak zaman prasejarah, Yunani, Romawi, Renaissace, Neoklasikisme, Romantisisme, Realisme, Impresionisme, Ekspresionisme, Dadaisme, dan seterusnya.

Lompatan seni di Amerika dicari pembenarannya. Greenberg mengklaim bahwa, untuk pertama kalinya, bentuk seni Barat yang paling "maju" tidak lagi diproduksi di Eropa tetapi di New York. Baginya, pelukis seperti Pollock, Motherwell, De Kooning, Rothko, Kline, dan Newman yang sekarang, berkat bahasa abstrak baru yang mereka kembangkan, melanjutkan karya yang dimulai dengan avant-gardes Eropa. Seniman-seniman Eropa, menurutnya, tidak mampu membawa perjalanan seni sampai selesai, sebagian karena bobot tradisi, sesuatu yang tidak harus dibawa oleh Amerika.

Kondisi ini aple to aple dengan keadaan politik internasional kala itu. Sebelum Perang Dunia II, dunia dikuasai bangsa Eropa, dijajah, dikoloni, ditindas, dikeruk kekayaannya. Inggris dan Perancis adalah penjajah alias kolonialis paling berkuasa. Penjajahan gaya lama ini dilakukan dengan mengirim tentara, menduduki, termasuk Belanda yang mengirim tentara ke Nusantara.

Setelah Perang Dunia II, dunia dikuasai Amerika Serikat. Penjajahan gaya baru lebih canggih, Neokolonialisme tidak perlu mengirimkan tentara. Yang penting kekayaan alam negeri yang dikoloni dapat dikeruk. Yang penting emas, minyak, gas dan segala kekayaan alam dapat dikuasai. Negeri-negeri bekas jajahan Eropa tidak lagi ditundukkan dengan mesiu tetapi dengan ekonomi, sebagaiman yang diungkan John Perkins dalam buku Confessions of an Economic Hit Man. Mengutip Perkin, Kwik Kian Gie mengingatkan. Tentara dikeluarkan hanya saat jurus ekonomi tidak mempan, sebagaimana tentara AS di Irak dan Afganistan.

Selain lewat buku, John Perkins juga menyampaikan lewat TED Talk

Sebagian akademisi Indonesia menyadari kondisi miris ini. Pakar ekonomi dari UGM Yogyakarta, Dr. Revrisond Baswir, kerap mengkritik kapitalisme dan neoliberalisme. Ia melihat kejanggalan hasil Konferensi Meja Bundar, antara Indonesia dan Belanda yang ditengahi Amerika, mosok Indonesia yang merdeka harus menanggung beban hutang Belanda?

Bagi pengamat tajam, tidak aneh jika muncul buku Indonesia Merdeka Karena Amerika? Tulisan Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg. Dalam buku aslinya terdapat karikatur yang menggambarkan Paman Sam yang tengah memainkan wayang Bung Karna Indonesia melawan Belanda, sementara itu kakinya menginjak beruang Komunis Rusia.

Tentu saja Presiden Soekarno tidak setuju dengan NeKoLim, Neo-Kolonialisme-Liberalisme

Amerika sendiri sebenarnya penjajahan Inggris yang belum selesai. Para koloni Inggris menduduki penduduk asli di sana, seperti suku Maya, dan masih bercokol hingga sekarang. Ini sama dengan tentara Inggris yang menduduki tanah Australia, merebutnya dari suku Aborigin. Sepadan jika tentara Belanda masih beranak pinak di Nusantara, misalnya.

Tapi mengapa PAINTING EXPLORER Channel tetap menyelenggarakan Kuliah Seni Lukis Abstrak sebagai giveaway, apakah kanal seni ini mendukung Kapitalisme Liberalisme? Apakah mendung Neokolonialisme?

Tentu tidak. Bentuk lukisan abstrak tidak bersalah. Ia hanya visual yang dimanfaatkan dalam percaturan politik global. Lagi pula, jauh sebelum ekspresionisme abstrak lahir di Eropa, di berbagai penjuru dunia sudah mengenal bentuk abstrak. Motif abstrak sudah ada di lukisan-lukisan gua praserah. Motif hias tradisional di Asia banyak menggunakan komposisi abstak, batik adalah salah satunya.

Mari terus berkarya, rekan-rekan bersama saya Deni Je, konten kreator PAINTING EXPLORER Channel

Welcome to PAINTING EXPLORER Channel

Dari painting kita explore peradaban.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar