AKU UPLOAD MAKA AKU ADA
Pengantar Seniman: Deni Je
Teks dalam Katalog Pameran Lukisan Deni Je Ketiga "On Cam"
(E-Katalog terlampir)
“YouTube akan menggeser mesin
pencari Google setelah menggusur televisi,” demikian informasi yang saya
peroleh dari seorang penggiat media sosial dengan jutaan follower Instagram.
Kabar itu disampaikan akhir tahun 2017, di grub WA yang saya buat.
Menggeser search engine Google adalah hal luar biasa, kendati keduanya ada dalam satu perusahaan. Website ini merupakan tempat rujukan ketika seseorang mencari informasi, baik dari persoalan keluarga bagaimana menyajikan menu makanan hingga persoalan akademis ketika seorang peneliti memerlukan data maupun teori. Pergeseran pencarian informasi, data, maupun teori ini paling tidak karena Youtube memiliki tiga keunggulan, yaitu lebih efisien, powerful, dan menarik ketimbang website teks.
Pertama
efisien, pencari informasi di YouTube tidak perlu susah-susah membaca tulisan
yang seringkali melelahkan, apalagi untuk tulisan panjang. Pengguna YouTube
yang tidak memiliki waktu untuk melihat video dapat memperlakukannya seperti
radio, mendengarkan sambil beraktivitas lain.
Kedua powerful, viewer dapat
menemukan orang-orang yang memiliki kompetensi dalam bidang tertentu di
YouTube. Politisi, akademisi, praktisi, bahkan ulama banyak yang membuka kanal
atau diwawancarai kanal tertentu. Konten yang dibahas ahlinya ini sekaligus
meningkatkan efisiensi dalam pencarian ilmu. Sebelum era teknologi informasi,
seseorang yang ingin berguru pada ulama kondang harus pergi jauh dan
mengalokasikan banyak waktu, kini ia dapat memilih ustad yang disenangi dari
dalam kamar tidurnya.
Ketiga
menarik, konten multimedia YouTube yang dapat mengkombinasi gambar, video,
audio, musik, tulisan, bahkan interaksi komunikasi ini membuat pencarian
informasi terasa dinamis ketimbang membaca website hasil pencarian Google yang
cenderung statis; apalagi laman yang sesak dengan iklan. Aspek multimedia yang
tidak terpaku pada jam tayang ini yang sekaligus telah menggeser televisi.
Tentu saja berbagai aspek positif
ini berkelindan dengan potensi negatif yang siap menerkam pengguna YouTube.
Selain informasi yang disampaikan oleh konten kreator yang berkompeten juga
terdapat banjir informasi yang penuh hoax. Multimedia yang dapat memikat
pencari informasi juga dapat menyihir penonton untuk menjadi pengekor yang
tunduk tanpa mempelajari landasan epistemologis tontonannya.
Berdasarkan hal itu, dan kondisi sinyal
internet yang semakin mudah diperoleh, di awal tahun 2018, tepatnya tanggal 7
Januari, saya memutuskan untuk meluncurkan kanal YouTube yang berkonten seni,
khususnya seni lukis, baik praktek maupun teori. Kanal ini saya beri nama
PAINTING EXPLORER Channel, kanal untuk mengupload, kanal untuk mengada.
Youtube:
Presentasi Seni Lukis
Karya yang ada dalam
pameran tunggal lukisan “on cam” ini dibuat dalam sorotan kamera dan diunggah
di YouTube PAINTING EXPLORER Channel. Sorotan kamera ini dapat secara live
maupun siaran tunda.
Kelebihan siaran tunda adalah kesempatan untuk
mengedit video, sehingga konten yang dihadirkan dapat terseleksi. Akan tetapi,
cara ini memiliki kekurangan yaitu memakan waktu dan usaha yang lebih banyak,
seperti untuk proses editing, sehingga ada beberapa video hingga kini belum
teredit apalagi terupload.
Live streaming memiliki tiga kelebihan. Pertama, saya dapat berinteraksi
langsung dengan viewers lewat live chat. Mereka menyapa, berkomentar, atau
bertanya kepada saya saat lukisan dikerjakan. Selain itu, antara para viewers
juga dapat saling menyapa. Kedua,
aktivitas tampak alami tanpa editan. Kelebihan ini sekaligus memiliki potensi
kekurangan yaitu ketika ada hal-hal yang tidak dikehendaki, apalagi sensitif,
maka tidak dapat mengeditnya ketika proses berlangsung. Ketiga, tidak perlu susah-susah mengedit sehingga efektif untuk
pembuatan konten.
Untuk presentasi online seni lukis, YouTube memadai.
Proses pembuatan lukisan dari awal hingga akhir dapat direkam. Jika dirasa
membosankan, video dapat dipercepat. Jika dianggap penting, gerakan dapat
diperlambat dan mata kamera didekatkan objek. Gagasan abstrak dapat disampaikan
lewat audio. Untuk memperjelas keterangan dapat ditambahkan gambar sebagai
ilustrasi. Musik pun disesuaikan agar mood
viewer terkondisikan.
Saya bukan ahli IT dan tidak mahir menggunakan
aplikasi-aplikasi canggih. Pembuatan video hanya memanfaatkan aplikasi yang
mudah, seperti Filmora, Movie Maker, OBS, atau bahkan PowerPoint. Begitu
menemui kesulitan, saya langsung membuka tutorial di YouTube dan mengikuti
langkah-langkahnya. Hasil edit yang jelek atau wagu saya biarkan begitu saja
disertai bisikan hati, “Video selanjutnya saya usahakan lebih bagus, Insya
Allah.” Dengan cara itu, ketika tulisan ini dibuat, di PAINTING EXPLORER sudah
ada 634 video.
Selain praktek melukis, PAINTING EXPLORER juga memuat
aktivitas pewacanaan seni. Kegiatan saya mengisi kuliah seni lukis mahasiswa
ISI Yogyakarta, baik kuliah teori maupun praktek, banyak terabadikan. Bahkan
aktivitas diskusi, seminar, atau kajian juga ada di dalamnya. Demikian juga,
wawancara dengan seniman, baik secara langsung maupun via Zoom, saya lakoni
untuk channel kesayangan ini. Maka kanal ini saya dedikasikan untuk praktek
maupun teori seni, khususnya seni lukis.
Mengelola kanal YouTube sebagaimana
mengelola media massa. Kegiatan jenis ini sudah lama saya lakukan dengan senang
hati. Di SMA saya terlibat penerbitan majalah sekolah; di Masjid Desa mengetuai
majalah dinding Reihal; setelah
wisuda ISI Yogyakarta, bersama teman seangkatan, menerbitkan Majalah Makna Media Para Perupa; di Majalah Visual Art menjadi wartawan; dan di
Majalah Galeri terbitan Galeri
Nasional Jakarta ada di daftar redaktur; pernah pula Penyunting Penyelia (Pimred) Journal
of Contemporary Indonesian Art terbitan Prodi Seni Murni Fakultas Seni Rupa
ISI Yogyakarta
Instagram: Katalog Lukisan
Berbeda dengan YouTube yang mendukung presentasi
proses berkesenian, Instagram cocok untuk katalog karya. Media sosial yang
awalnya berbasis foto lalu menambahkan video ini dapat digunakan untuk memajang
berbagai foto lukisan yang prosesnya ada di YouTube.
Untuk itu, saya membuka akun Instagram @deni.painting.
Di platform yang terintegrasi dengan Facebook ini saya pajang beberapa lukisan,
sejak karya dalam pameran tunggal pertama.
Selain foto tunggal dalam satu upload, seringkali saya
membagi satu foto lukisan menjadi 6 bagian agar tampak besar menyatu ketika
feed Instagram dikunjungi. Terkadang video panjang juga disertakan dalam IGTV.
Reel pun saya buat untuk video pendek berformat potret.
Peran Instagram sebagai katalog semakin terasa ketika
media ini dapat dihubungkan dengan online shop. Saya berinisiatif membuka
PAINTING EXPLORER Merchandise sebagai distro yang menyediakan merch bagi pengunjung PAINTING EXPLORER
Channel. GoStore, anak perusahaan GoJek, saya pilih untuk toko daring yang
berbasis website ini, tidak berbasis aplikasi sebagaimana marketplace pada
umumnya. PAINTING EXPLORER Merchandise ini dapat diakses lewat profil Instagram
saya hanya dengan mengklik tombol ‘lihat toko’. Di sana terdapat berbagai merch yang mengaplikasikan lukisan saya,
seperti reproduksi lukisan dalam bentuk print digital di kanvas, kaos, maupun
sajadah travel. Di ruang ini pengunjung juga dapat menjumpai buku karya saya, Estetika: Jalinan Subjek, Objek, dan Nilai.
Domain Website Pribadi: Rumah Seniman
Tidak seperti media sosial, website seperti rumah
pribadi. Media sosial layaknya alun-alun yang berisi banyak orang, siapa pun
dapat menggelar dagangan atau sekedar berjalan-jalan melihat suasana; tentu
saja dengan ketentuan dan cara yang dikehendaki pemerintahan kota pemilik
alun-alun. Marketplace juga bekerja dengan cara alun-alun ini. Penggunanya
mesti berdesak-desakan dengan pengguna lain, yang satu ditawarkan yang lain
muncul, paling murah ada di atas.
Di website
pribadi, pengguna dapat mengatur sesuka hati apa yang akan ditampilkan.
Meskipun tentu saja mengupayakan trafik pengunjung website agar ramai jauh
lebih susah dibandingkan pengunjung di media sosial. Keunggulan lainnya adalah,
website kerap digunakan untuk melihat keseriusan seseorang atau lembaga dalam
bereksistensi. Berdasarkan beberapa kelebihan ini, saya memutuskan untuk
membeli domain website www.denijunaedi.com dengan hosting di blogger.
Di ruang virtual ini saya dapat menyematkan lukisan apapun.
Tidak seperti Instagram, deskripsi panjang juga dimungkinkan di website. Bahkan
saya dapat menyematkan video yang telah diupload di YouTube. Malah, katalog
pameran dalam format PDF dapat saya pajang di website tersebut.
On Cam: Cara Mengada Era Online
Istilah on cam
semakin meluas di era pandemi Covid-19.
Frasa kependekan dari on camera yang
berarti ‘di hadapan kamera’ ini nyaris dilakukan semua orang. Kondisi yang
telah matang, yaitu ketika hampir semua orang memiliki handphone berkamera,
menjadi tempat tumbuh subur budaya on cam.
Kebijakan ‘belajar dari rumah’ maupun ‘bekerja dari
rumah’ pada masa lockdown mengharuskan
seseorang terkoneksi secara real time dengan
orang lain yang sama-sama duduk di depan kamera. Telekonferensi zaman Pak Harto
adalah hal super istimewa, hari ini rapat online menjadi aktifitas sehari-hari,
bahkan ngobrol via Zoom pun bukan kabar yang mengundang decak kagum.
Budaya on cam ini
memungkinkan penciptaan lukisan di sudut kampung diketahui oleh penonton di
desa terpencil lainnya. Tidak aneh ketika saya melukis secara live streaming
dapat ditonton dan ngobrol dengan reken-rekan PAINTING EXPLORER di berbagai
kota, dari Aceh hingga Papua, bahkan beberapa di antaranya hadir dari Malaysia,
Philipina, Thailand, dan Hongkong. Batas geografis ini semakin tertembus ketika
upload video siaran tunda, interaksi dengan pemirsa dari India atau Spanyol
adalah hal biasa, bahasa bukan halangan, Google Translate setia mendampingi.
Melukis secara on
cam di studio ini sebenarnya mirip melukis di pinggir jalan, mesti siap
dikerubungi penonton. Sejak SD saya terbiasa melakukan itu. Ayah saya adalah
tukang stempel dan papan nama yang membuka kios kaki lima di pinggir bunderan
Sukorejo Kendal. Sembari membantu Pake, demikian panggilan untuk almarhum ayah
Dini Mulkadar, saya mengisi waktu dengan membuat lukisan di easel kecil. Cat
yang sedianya akan digunakan untuk papan nama diikhlaskan Pake untuk melukis.
Melukis live streaming di YouTube sambil berbicang
dengan viewers di live chat adalah hal mengasyikkan. Ini mengingatkan saat
masih mahasiswa, melukis di kost-kostan ditemani rekan seangkatan sambil ngobrol ngalor-ngidul.
Semua kemudahan teknologi ini menggampangkan seniman
untuk mengada, untuk eksis. Cara eksis di media sosial adalah dengan rutin
mengupload konten agar algoritma mengenali pengguna dan mengabarkan pada
pengguna lain. Dalam istilah Descrates yang plesetan, yaitu cogito ergo sum atau ‘aku berpikir maka
aku ada’, adalah ‘aku upload maka aku ada’.
Karena PAINTING EXPLORER Channel adalah
vlog, beberapa kontennya terkait dengan kegiatan saya selain melukis, yaitu
saat mengisi pengajian. Video jenis ini saya satukan dalam playlist Halaqah
Deni Je. Sering terdengar komentar, “Mengapa umat Islam menolak paham
kapitalisme, liberalisme, sosialisme, komunisme, maupun pemikiran sejenis
tetapi memanfaatkan teknologi seperti YouTube dan Instagram yang dibuat oleh
peradaban tersebut?” Untuk menjawab hal itu saya mengunggah video dengan judul Hadharah dan Madaniyah: Hukum Memanfaatkan
Teknologi dalam Islam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar