TAHUN BARU ISLAM: DOA TITIK BALIK, Tulisan dalam Katalog Pameran Kaligrafi ‘Berdoa untuk Negeri; Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh’

 TAHUN BARU ISLAM: DOA TITIK BALIK

Oleh: Deni Junaedi*


 Dimuat dalam katalog Pameran Kaligrafi ‘Berdoa untuk Negeri; Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh’


            Tahun Baru Islam yang pertama, yaitu 1 Muharram 1 H yang bertepatan dengan tahun 622 M, adalah turning point atau titik balik peradaban Islam dan sekaligus peradaban dunia. Ini merupakan perubahan arah dari keadaan yang ditekan, dibully, dipersekusi, bahkan dianiaya, menjadi keadaan yang mampu membangun dan memimpin peradaban dunia. Ketika di Makkah, meskipun Nabi saw telah berdakwah 13 tahun, pengikutnya hanya berkisar 300 orang; setelah di Madinah, hanya dalam 10 tahun, seluruh jazirah Arab telah beragama Islam. Bahkan para sahabat dan sultan yang meneruskan perjuangan Rasulullah saw dapat mengembangkan Islam hingga ke Eropa, Afrika, maupun Asia, tentu saja termasuk Nusantara, termasuk para sultan Jogja. Kini, penyebarannya ada di seluruh penjuru dunia.

Makna penting momentum hijrah ini dapat digunakan untuk memahami mengapa tahun Islam tidak ditandai dengan hari lahir, wafat, atau ketika Rasulullah saw pertama kali menerima wahyu. Momentum ini, meskipun tidak sepenuhnya sama, dapat dikomparasi dengan Independence Day rakyat Amerika yang terlepas dari saudaranya di Inggris lalu menyebarkan gagasan demokrasi ke seluruh dunia. Singkat kata, hijrah adalah hari kemerdekaan, independence day.

Sebelum hijrah, kaum Muslim dalam tekanan Musyrik Qurais. Setelah hari kemerdekaan itu, Islam menjadi pemimpin dalam interaksi sosial maupun politik, termasuk ketika membuat perjanjian dengan Yahudi lewat Piagam Madinah. Marwah Islam semakin cemerlang ketika Nabi saw, selaku kepala negara, mengirim surat untuk kepala negara dua adidaya sekaligus, Romawi dan Persia, di samping untuk kepala negara lain. Kewibawaan Islam semakin tampak ketika Khulafaur Rasyidin mengalahkan dua negara besar tersebut. Ketika Eropa mengalami Abad Kegelapan, wilayah Islam mengalami Abad Keemasan di bawah kepemimpinan Khilafah Umayyah dan Abbasiyah. Bahkan Bani Usmaniyah mampu menembus benteng Konstatinopel. Kejayaan Islam hancur ketika Khilafah Usmaniyah dilenyapkan Inggris melalui agennya, Mustafa Kemal.

Tahun baru Islam yang terjadi 1443 tahun lalu dalam hitungan kalender komariyah, kini diperingati dengan perhelatan Pameran Kaligrafi, tanggal 15 Agustus hingga 15 September 2021. Pameran ini terhitung besar dan menempati ruang luas bandara Yogyakarta International Airport. Ketimbang ukuran ruang pameran, besaran pameran ini tentu saja lebih tepat jika dilihat dari peserta yang mempresentasikan karyanya. Perhelatan seni yang dimotori Dini Art Production bersama PT Angkasa Pura 1 Yogyakarta ini menyuguhkan para seniman yang dedikasinya pada dunia kaligrafi sudah terekam panjang, baik di dalam maupun luar negeri. Arts World Indonesia tentu saja tidak asing dengan deretan nama kaligrafer berikut ini: Syaiful Adnan, Syahrial Koto, Agus Baqul Purnomo, Rispul, Aruman, Abdul J. Hawary, Ki Lutfi Caritogomo, Abdul Kholiq, Ishendri Zaidun, dan beberapa seniman lainnya.

Dengan latar belakang momentum penting hijrah, pameran ini juga mengambil tema urgen: ‘Berdoa untuk Negeri; Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh’. Kata kunci utama dalam tema ini adalah ‘doa’. Doa berasal dari kata Arab da’a – yad’u – du’a’an yang dapat berarti ‘memanggil’ selain ‘berdoa’. Bisa jadi, tidak ada perbedaan antara berdoa dengan memanggil; berdoa adalah memanggil, tetapi tidak sekedar memanggil teman atau orang-orang yang memiliki pengaruh agar membantu kita; berdoa adalah memanggil Dzat yang maha menciptakan makhluknya, Dzat yang maha berkuasa, Dzat yang maha menentukan, Dzat yang tidak terbatas dan tidak tergantung.

Dengan memanggil Sang Pencipta jagad raya ini, asalkan panggilan itu dapat tersampaikan, maka akan sangat mudah bagi Al-Kholiq untuk mengubah suatu keadaan, mengubah suatu negeri. Akan sangat mudah bagi Allah untuk mengubah keadaan Indonesia yang belum tangguh menjadi tangguh; mengubah keadaan Indonesia yang belum tumbuh menjadi tumbuh. Sangat mudah. Asalkan panggilan itu tersampaikan.

Agar panggilan itu sampai, si pemanggil tidak sekedar memanggil Sang Pengabul Panggilan. Si pemanggil mesti mendasarkan keimanan dan ketakwaan pada Sang Pengabul Doa dan tentu saja mesti berupaya keras melakukan berbagai tindakan yang memungkinkan ketangguhan dan pertumbuhan itu terwujud. Upaya yang dilakukan agar Indonesia menjadi tangguh dan tumbuh juga tidak boleh bertentangan dengan rambu-rambu yang telah disampaikan Al-Kholiq lewat utusannya, Nabi Muhammad saw.

Doa dan upaya inilah yang dilakukan oleh Rasulullah saw beserta para sahabat. Untuk mencapai kejayaan Islam lewat hijrah, Nabi saw tidak sekedar berdoa, tetapi melakukan tholabul nusroh atau mencari pertolongan ke berbagai kabilah, yang semuanya menolak, bahkan dengan kasar, kecuali suku Aus dan Khazraj yang menerima Nabi saw sebagai pemimpin. Dua kaum dari Madinah inilah yang menjadi Anshor atau penolong para Muhajirin atau orang-orang yang berhijrah. Agar peradaban Islam terus tumbuh dan tangguh, para sahabat tidak hanya berdoa, tetapi juga berjihad atau bersungguh-sungguh dengan jiwa dan raga di medan laga.

Hijrah dan upaya untuk mendapatkan kejayaan tercermin dalam lukisan Agus Baqul Purnomo berjudul Ora Obah Ora Nyunah. Kaligrafer kontemporer ini membentuk kanvasnya dalam pola gunungan wayang kulit. Gunungan kerap berperan sebagai penanda pergantian antara satu babak ke babak lain dalam pertunjukan wayang, dengan kata lain, gunungan menandai turning point, sebagaimana Tahun Baru Hijriyah. Kaligrafi yang disematkan dalam gunungan itu adalah teks ta’murụna bil-ma'rụfi wa tan-hauna 'anil-mungkari”. Tulisan yang berarti ‘menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar' ini dibuat secara berulang-ulang dan disusun mengelilingi ruang tengah gunungan, sebagaimana jamaah yang towaf di Kakbah.

 Perupa yang diburu kolektor Asia Pasifik ini memetik secara tepat ayat al-Quran surat Ali Imran ayat 110. Ayat ini adalah kabar baik bahwa Muslim adalah umat terbaik. Sebelum masuk ke proposisi yang diquote Agus Baqul, ayat ini dimulai dengan kalimat pernyataan ‘Kuntum khaira ummatin ukhrijat lin-nāsi…” yang berarti ‘Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia…” Artinya adalah untuk menjadi umat terbaik, umat Islam mesti mengajak ke kebaikan dan mencegah kemungkaran. Ini terangkum dalam judul yang diberikan Baqul dalam bahasa Jawa, Ora Obah Ora Nyunah, kalau tidak bertindak menebar kebaikan dan merintangi keburukan maka umat Islam tidak akan melakukan sunah Nabi saw, tidak akan menancapkan gunungan sebagai turning point.

Ketika berdoa, umat Islam sedang mengingat Allah. Saat seorang hamba yang mengingat Allah dan bersukur kepada-Nya, ia berharap Al-Kholiq pun mengingatnya. Ini sebagaimana kandungan Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 152, “Fażkurụnī ażkurkum wasykurụ lī wa lā takfurụn,” (Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku). Ayat ini diangkat Aruman lewat kaligrafi dengan teknik aral rintang batik. Perupa yang juga dosen Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta ini piawai memadukan efek spontan cipratan dengan ornament tradisional.

Kesadaran bahwa Allah adalah Dzat tertinggi tentu saja disadari oleh para kaligrafer yang tengah punya gawe ini. Ini dapat dilihat sebagai idrak sillah billah, kesadaran bahwa manusia berhubungan dengan Allah. Maka tidak aneh jika lafadz Allah banyak keluar dari tangan-tangan sakti para seniman peserta. Sebagaimana dzikir visual berikut ini.

 Abdul J. Hawary melafadz Allahu Akbar dengan tafril lingkaran. Pelukis yang belum lama ini mengikuti International Virtual Exhibition on Qur'anic Calligraphy, Art & Culture di Mumbai India ini tidak memilih langgam khot tradisional semacam Naskhi, Tsuluts, atau Diwani. Bahkan proporsi antara huruf satu dengan lainnya juga tidak menggunakan pola yang telah lazim. Dengan dinamika komposisi yang menarik, Hawary menempatkan lafadz Allahu Akbar pada sisi kiri, muncul jelas pada latar belakang gelap.

 Demikian pula, dzikir Allahu Akbar dilakoni Abdul Kholiq, bahkan lewat dua lukisan sekaligus. Pelukis ini piawai menciptakan kesan gerak, baik dengan memanfaatkan komposisi bentuk maupun tonalitas gelap terang. Irama yang meliuk-liuk dengan berpusat pada titik huruf ba memuat karyanya tidak membosankan. Pada lukisannya yang penuh warna semakin terasa nuansa dzikir, ia menghadirkannya dengan cara mengulang-ulang nama Allah. Hasil laku kreatifnya tampak bergetar.

 Tidak hanya karya dua dimensi, karya tiga dimensi dalam pameran ini juga tidak senyap dari lafadz Allah. Ishendri Zaidun menyebutnya dengan nama lain yang ada di Asmaul Husna, Ar-Rokhim. Pematung kaligrafi yang tinggal di Yogyakarta ini juga mencoba mencari font yang tidak lazim.

Sekali lagi, asma mulia Sang Pencipta, Allah swt, dihadirkan Rispul. Sebagaimana Ishendri, Rispul menyuguhkan karya tiga dimensi. Perupa yang juga akademisi dari ISI Yogyakarta ini selalu tampil prima dalam tiap pameran. Komposisinya unik garapannya serius. Dalam karya berjudul Allah Muhammad yang dibuat tahun 2021 ini, ia menghadirkan nama Tuhan dan Utusan-Nya yang dapat diamati dari sisi berbeda. Di tengah komposisi ruang kosong, seniman yang juga tergabung dalam Jejaring Seniman Muslim KHAT ini menempatkan bola warna-warni yang terbuat dari lempengan. Lempengan yang membentuk bola ini seakan bersuara, “Apapun pendapatmu, baik mempercayai bumi bulat maupun datar, mesti beriman pada penciptanya dan mengikuti utusan-Nya.”

Kaligrafi Arab memang tidak dapat dilepaskan dari khot atau font pembentuknya. Ketika mempelajari sejarahnya, kita akan melalui khot standar semacam Kufi, Farisi, atau Tsuluts. Ketika mengamati interior masjid tua di kota Edirne dan Bursa Turki, saya langsung bertemu dengan khot pakem itu yang memenuhi dinding. Sebaliknya, dalam pameran ini para seniman justru berusaha membuat langgam yang berbeda, yang khas secara pribadi. Penemuan dari laku kreatif ini tampak buahnya pada Syaiful Adnan, kaligrafer papan atas yang telah menemukan gaya Syaifuli. Huruf-hurufnya berakhir panjang-panjang, seperti pedang. Kebetulan, syaiful juga berarti pedang. Karyanya dapat dinikmati di YIA dalam pameran ini.

 Huruf Arab memang luwes untuk dibentuk. Bahkan beberapa kaligrafi benar-benar lepas dari standar huruf dasar. Syahrial Koto menggunakan jurus ini. Karyanya yang berjudul Getaran Alam seakan sebagai patung abstrak. Namun jika dicermati, objek ini membentuk lafadz Muhammad, Nabi Agung saw. Ini mengingatkan pada tiang Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta yang ornamennya juga dapat dieja sebagai nama Rasulullah saw.

Eksekusi visual seniman-seniman dalam pameran ini tentu saja tidak diragukan. Akan tetapi, jika mengingat tema ‘Berdoa untuk Negeri; Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh’ dan juga Tahun Baru Islam sebagai momentum yang diperingati, belum muncul karya yang secara spesifik mengaitkan dua hal tersebut. Kondisi ini biasa terjadi, passion seniman adalah berkarya seni, berkarya dan berkarya, tidak peduli untuk perhelatan apa, jika ada pameran yang nyrempet-nyrempet dengan karyanya, tinggal diikutkan saja. []

 

*Penulis adalah konten kreator PAINTING EXPLORER Channel dan dosen seni lukis ISI Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar